Kisah perja Raden Wijaya ini terdapat dalam prasasti Kudadu, yang dikeluarkan pada tahun 1294. Saat itu Raden Wijaya telah berhasil mengalahkan Prabu Jayakatwang dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Prasasti tersebut merupakan piagam penghargaan kepada pemimpin Desa Kudadu yang telah melindungi dirinya saat dikejar-kejar pasukan musuh pada tahun 1292.
Berikut adalah kutipan terjemahan dari prasasti tersebut, khusus pada bagian yang menceritakan rute perjalanan Raden Wijaya dari Singhasari menuju Madura :
… Sri Maharaja (Kertarajasa Jayawardhana) dulu saat belum menjadi raja, dan masih bernama Nararya Sanggramawijaya, saat itu Beliau dalam kesedihan karena dikejar-kejar musuh hingga sampai ke Kudadu. Penyebabnya ialah, Sri Kertanagara berpulang ke alam Siwa-Buddha karena diserang Sri Jayakatyeng dari Glang-glang, yang berubah menjadi musuh, berlaku curang, mendurhakai sahabat, mengingkari perjanjian, terdorong nafsu ingin menyirnakan Sri Kertanagara di negara TUMAPEL.
Ketika pasukan Sri Jayakatyeng terdengar telah sampai di JASUN WUNGKAL, Sri Kertanagara pun mengutus Sri Maharaja dan Sang Ardharaja untuk menghadapi mereka. Sang Ardharaja adalah menantu Sri Kertanagara yang juga putra Sri Jayakatyeng. Maka, berangkatlah Sri Maharaja dan Sang Ardharaja dari negara Tumapel. Sesampainya di KEDUNG PELUK, Sri Maharaja bertemu musuh, dan berperang melawan mereka. Pihak lawan kalah dan melarikan diri, tidak diketahui berapa jumlah korban yang tewas.
Sri Maharaja dan pasukannya bergerak sampai di LEMBAH, di sana tidak bertemu musuh. Kemudian Sri Maharaja bergerak ke barat menuju BATANG, di sana mereka bertemu musuh tetapi tidak melawan. Musuh pun bergerak mundur. Sri Maharaja bergerak dari Batang, sampai di KAPULUNGAN dan bertemu musuh. Terjadilah pertempuran di sebelah barat Kapulungan. Pihak musuh kalah dan banyak yang terluka.
Sri Maharaja dan pasukannya bergerak lagi dan sampai di RABUT CARAT. Tidak lama kemudian, terlihat musuh datang dari arah barat. Sri Maharaja dan pasukannya pun menghadapi mereka. Banyak musuh yang tewas dan melarikan diri. Semuanya takluk melawan Sri Maharaja. Pada saat itulah terlihat bendera musuh berkibar-kibar di sebelah timur HANIRU, merah dan putih warnanya. Melihat bendera itu, Sang Ardharaja menyarungkan senjata, lalu melarikan diri menuju Kapulungan. Hal ini membuat pasukan Sri Maharaja (Sanggramawijaya) menjadi rusak, namun Beliau tetap berbakti kepada Sri Kertanagara. Oleh sebab itu, Beliau tetap tinggal di Rabut Carat, kemudian bergerak ke utara sampai di PAMWATAN APAJEG di seberang utara sungai. Saat itu pengikut Sri Maharaja berjumlah enam ratus orang.
Pagi harinya, musuh datang menyerang. Pasukan Sri Maharaja melawan mereka. Tentara Sri Maharaja semakin berkurang, karena ada yang melarikan diri meninggalkan Beliau. Sri Maharaja berniat menuju ke TERUNG, untuk meminta bantuan akuwu di sana yang bernama Rakryan Wurwagraja yang dulu dilantik oleh Sri Kertanagara, dengan harapan bisa memperoleh bala bantuan dari sekitar timur Terung. Para pengikut pun ikut senang atas rencana ini.
Sri Maharaja dan pasukan berangkat menuju KULAWAN pada malam hari, karena takut bertemu musuh yang berjumlah sangat banyak. Namun, sesampainya di sana, mereka justru bertemu musuh. Karena dikejar-kejar musuh, Sri Maharaja pun bergerak ke arah utara, mengungsi ke KEMBANGSRI. Di sana pun Sri Maharaja bertemu musuh, dikejar-kejar dan berlari ke arah utara, menyeberangi sungai. Para pengikut Beliau berenang dengan tergopoh-gopoh, banyak yang mati hanyut, dan banyak pula yang terkejar musuh lalu ditusuk tombak. Mereka yang selamat melarikan diri tak tentu arah, sehingga pengikut Sri Maharaja hanya tinggal dua belas orang saja yang mengawal Beliau.
Siang harinya, Sri Maharaja dan para pengikut sampai di KUDADU dalam keadaan lapar, letih, dan berduka. Kepala desa Kudadu menyambut mereka dan memberikan bakti berupa makanan, minuman, nasi, semua dipersembahkan kepada Sri Maharaja. Kepala desa Kudadu juga memberikan tempat persembuyian kepada Sri Maharaja dan pasukannya agar tidak ditemukan musuh. Kemudian, kepala desa Kudadu menunjukkan jalan dan mengantarkan Sri Maharaja hingga sampai ke REMBANG, ketika Beliau (Sanggramawijaya) berniat mengungsi ke MADURA .
Dari kutipan prasasti di atas, kita temukan nama-nama tempat, yaitu Tumapel, Jasun Wungkal, Kedung Peluk, Lembah, Batang, Kapulungan, Rabut Carat, Haniru, Pamwatan Apajeg, Terung, Kulawan, Kembangsri, Kudadu, Rembang, Madura. Marilah kita bahas satu persatu rute yang dilewati Raden Wijaya dalam peristiwa di tahun 1292 tersebut.
Tumapel adalah nama kerajaan yang dipimpin Sri Kertanagara, yaitu mertua Raden Wijaya. Menurut Kakawin Nagarakretagama, kerajaan ini memiliki ibu kota bernama Singhasari. Tidak perlu diragukan lagi, wilayah yang dahulu bernama Singhasari saat ini bernama Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Ketika pasukan Glang-glang telah terdengar sampai di Jasun Wungkal, Sri Kertanagara mengutus Raden Wijaya dan Ardharaja untuk menghadapi mereka. Secara harfiah, Jasun berarti bawang, dan Wungkal berarti batu. Jasun Wungkal berarti Bawang Batu. Di manakah letaknya?
Apakah Jasun Wungkal saat ini bernama Kota Batu? Tidak mungkin. Kota Batu terletak di sebelah barat Kecamatan Singosari, sedangkan Kapulungan, yaitu tempat terjadinya pertempuran antara pasukan Raden Wijaya dan musuh terletak jauh di utara (akan dibahas di bawah). Dengan kata lain, Kapulungan harus terletak di antara Tumapel dan Jasun Wungkal.
Ada pendapat bahwa Jasun Wungkal sekarang bernama Desa Watukosek, yang terletak di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Ada pula pendapat bahwa Jasun Wungkal sekarang bernama Dusun Bangkal, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Akan tetapi, Bangkal sendiri artinya adalah “pangkal”, tentunya berbeda dengan Wungkal yang bermakna “batu”. Dalam hal ini tentunya Watukosek lebih masuk akal. Hanya saja perlu penelitian lebih lanjut, mengapa Bawang Watu bisa berubah jadi Watu Kosek.
Sekadar informasi, nama desa Jasun Wungkal kemudian digunakan oleh S. Tidjab dalam sandiwara radio Tutur Tinular sebagai tempat tinggal tokoh antagonis Mpu Tong Bajil sesudah Singhasari runtuh.
Dari kutipan prasasti di atas, dapat dibayangkan bahwa pasukan Raden Wijaya bergerak dari Tumapel ke arah utara, sedangkan pasukan Glang-glang bergerak dari Jasun Wungkal ke arah selatan. Pertempuran pertama terjadi di Kedung Peluk.
Pada saat ini terdapat desa bernama Kedung Peluk di Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo. Namun, lokasi ini letaknya terlalu jauh di utara Rabut Carat yang terletak di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan (akan dibahas di bawah). Padahal, Rabut Carat seharusnya berada di utara Kedung Peluk. Dengan demikian, Kedung Peluk yang sekarang ada di Sidoarjo jelas tidak sama dengan Kedung Peluk yang ada prasasti Kudadu.
Kedung Peluk yang terdapat di prasasti harus dicari lokasinya di jalur antara Kecamatan Singosari (Malang) dan Kecamatan Gempol (Pasuruan).LEMBAH dan BATANG
Pasukan Glang-glang di Kedung Peluk berhasil dipukul mundur oleh pasukan Raden Wijaya. Jelas ini adalah siasat mundur untuk memancing Raden Wijaya agar semakin jauh meninggalkan ibu kota Singhasari di selatan. Dengan kata lain, rute mundurnya pasukan Glang-glang harus menuju ke arah utara.
Disebutkan dalam prasasti, bahwa Raden Wijaya mengejar musuh hingga ke Lembah. Saya kurang tahu di mana daerah yang dimaksud dengan Lembah tersebut. Apakah lembah di sekitar Gunung Welirang? Ataukah mungkin Lembah itu sekarang bernama Desa Lemahbang, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan? Saya tidak berani memastikan. Secara makna sudah berbeda, meskipun secara bunyi mirip.
Setelah melewati Lembah, pasukan Raden Wijaya bergerak ke barat, hingga sampai di Batang. Di sana mereka bertemu musuh tetapi tidak terjadi perlawanan. Untuk lokasi Batang juga saya belum bisa memastikan.
Setelah melewati Batang, pasukan Raden Wijaya mengejar musuh hingga sampai di Kapulungan. Terjadilah pertempuran di sebelah barat Kapulungan.
Untuk identifikasi Kapulungan tidak terlalu sulit, karena sampai saat ini masih ada Desa Kepulungan, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Lokasinya terletak di utara Kecamatan Singosari dan di sebelah selatan Desa Carat yang merupakan toponimi Rabut Carat (akan dibahas di bawah).
Setelah mengalahkan musuh di Kapulungan, pasukan Raden Wijaya bergerak lagi dan sampai di Rabut Carat. Di sana pun mereka kembali mengalahkan musuh. Untuk identifikasi Rabut Carat tidaklah sulit karena saat ini masih terdapat Desa Carat di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.
Rabut Carat ini adalah tempat di mana Ardharaja memisahkan diri dari pasukan Raden Wijaya untuk kemudian bergabung dengan pihak musuh. Penyebabnya ialah, terlihatnya bendera musuh di sebelah timur Haniru, berwarna merah dan putih. Entah di mana lokasi Haniru saat ini, yang jelas tidak boleh terlalu jauh dari Desa Carat.
Rabut Carat adalah titik balik nasib Raden Wijaya dari yang semula mengejar musuh, berubah menjadi dikejar-kejar musuh. Ia dan pasukannya bergerak ke utara sampai di Pamwatan Apajeg. Berdasarkan kemiripan toponimi, saat ini masih terdapat Desa Pamotan di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, yang lokasinya berada di utara Desa Carat, sehingga sesuai dengan berita pada prasasti.
Raden Wijaya yang dalam posisi terdesak berniat meminta bantuan Rakryan Wuru Agraja di Terung. Sampai saat ini masih terdapat desa bernama Terung Kulon dan Terung Wetan di Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Posisinya terletak di arah barat laut Desa Pamotan.
Dalam perjalanan menuju Terung, Raden Wijaya melewati Kulawan dan bertemu musuh di sana. Dengan kata lain, Kulawan harus terletak di antara jalur Kecamatan Porong dan Kecamatan Krian. Kemungkinan besar, Kulawan saat ini terletak di Kecamatan Tulangan, Kabupaten Sidoarjo. Mengapa terletak di Tulangan? Karena dalam prasasti disebutkan bahwa rencana ke Terung gagal karena bertemu musuh di Kulawan, sehingga pasukan Raden Wijaya berbelok ke utara menuju Kembangsri (akan dibahas di bawah).
Sekadar informasi, sandiwara radio Tutur Tinular mengisahkan bahwa tokoh utamanya yang bernama Arya Kamandanu berasal dari Desa Kurawan. Ada yang berpendapat bahwa, Kurawan diambil dari nama Wurawan, yang terletak di Madiun Selatan. Namun, hal ini jelas tidak tepat, karena Wurawan adalah tempat berdirinya Kerajaan Glang-glang, sehingga tidak mungkin Arya Kamandanu berasal dari tempat musuh berada.
Maka, yang paling memungkinkan adalah, Desa Kurawan dalam Tutur Tinular sama dengan Desa Kulawan dalam prasasti Kudadu.
Menurut prasasti Kudadu, pasukan Raden Wijaya dikejar-kejar musuh dari Kulawan menuju ke utara, hingga sampai di Kembangsri. Dengan kata lain, perjalanan menuju Terung di arah barat laut gagal total dan berubah menjadi ke utara.
Secara toponimi, di sebelah utara Kecamatan Tulangan saat ini terdapat Desa Bangsri di Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo. Dalam prasasti disebutkan bahwa para pengikut Raden Wijaya banyak yang tewas hanyut di sungai dekat Kembangsri. Sungguh kebetulan, bahwa di Desa Bangsri saat ini pun masih terdapat sungai pecahan Kali Brantas.
Setelah melewati Kembangsri menuju ke utara, Raden Wijaya diterima oleh kepala Desa Kudadu dan bersembunyi di sana. Dengan kata lain, Kudadu terletak di sebelah utara Kembangsri. Kemudian, kepala Desa Kudadu mengantarkan Raden Wijaya menuju ke Rembang untuk selanjutnya mengungsi ke Pulau Madura.
Jika Kembangsri sama dengan Desa Bangsri, maka Kudadu mungkin sama dengan Desa Bringinbendo atau Desa Sambibulu, atau Desa Gilang yang posisinya terletak di antara Bangsri dan Rembang.
Adapun Rembang secara kemiripan toponimi dapat ditemukan saat ini, yaitu Desa Krembangan, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, yang lokasinya terletak di sebelah utara Bangsri. Selain itu, Krembangan juga terletak di dekat Kali Mas, yaitu pecahan Kali Brantas yang mengalir menuju Kota Surabaya dan akhirnya bermuara di Selat Madura. Itu artinya, Desa Krembangan sangat cocok sebagai lokasi Rembang dalam prasasti Kudadu.
Dengan demikian, identifikasi Rembang dengan Kecamatan Rembang di Kabupaten Pasuruan jelas kurang tepat, karena terlalu jauh. Tidak mungkin Raden Wijaya menempuh risiko kembali ke selatan hanya untuk berlayar ke Madura. Apabila ia menempuh jalur Kali Mas jauh lebih masuk akal daripada putar balik ke selatan.
Selain itu, Rembang juga tidak mungkin sama dengan Kabupaten Rembang-Lasem di Jawa Tengah. Jelas itu pun terlalu melenceng. Mana mungkin Raden Wijaya yang punya niat hendak ke Madura harus pergi ke Lasem terlebih dahulu? Ini jelas tidak masuk akal.
Demikian, sedikit pembahasan dan perlu dikoreksi.
Bahan bacaan : Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya karya Prof. Dr. Slamet Muljana (Bhratara 1979)