Selasa, 05 Januari 2021

PENEMUAN SALURAN AIR KUNO DI DESA BULUSARI - GEMPOL PASURUAN

 https://jatimnow.com/po-content/uploads/Screenshot_2021-01-04-16-46-32-38_1.png

Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan peninjauan terkait ditemukannya situs saluran air kuno yang bermaterialkan struktur bangunan batu bata di Dusun Blimbing, Desa Bulusari, Kabupaten Pasuruan, Senin (4/1/2020).

"Setelah kami lakukan penelitian, struktur bangunan yang dilaporkan masyarakat pada Kamis 24 Desember lalu itu memang menunjukan kriteria sebagai objek yang memang diduga cagar budaya berupa struktur saluran air kuno," jelas Ketua Tim Penelitian dari BPCB Jatim, M Ichwan.

Dari pengukuran menggunakan GPS, Ichwan mengatakan jika struktur terowongan air itu berada di sekitar 25 meter di atas sungai dan berada di bawah lereng persawahan serta terlihat sepanjang 160 meter membujur dari sisi arah selatan dan utara.

"Dari pengukuran GPS tadi sekitar 160 meter, ini masih berlanjut ke arah selatan dan utara. Ini perlu diketahui mana pangkalnya dan mana ujungnya," ungkapnya.

Berdasarkan hasil pengukuran dalam penelitian tersebut, tinggi bangunan terowongan saluran air kuno itu setinggi 150 sentimeter dan lebarnya sekitar 140 sentimeter. Untuk lebar cekungan di sisi tengah bangunan yang berfungsi sebagai saluran air adalah sepanjang 44 sentimeter.

Bata yang digunakan sebagai material bangunan pun cukup tebal. Dari hasil pengukuran yang dilakukan Ichwan, bata tersebut setebal 8 sentimeter dan 9 sentimeter. Sedangkan panjangnya sekitar 39 sentimeter dengan lebar 22 sentimeter.

"Untuk ukuran panjangnya ini sampai mana kita belum mengetahui secara pasti. Begitu pun juga bentuk bangunannya, oleh karena itu perlu dilakukan ekskavasi, kajian, untuk menunjukkan ukuran, bentuk, maupun konteks kesejarahan," bebernya.

Ichwan menilai jika temuan situs saluran air kuno ini cukup luar biasa, sebab ada hubungannya dengan kearifan lokal nenek moyang pada masa lalu terkait dengan manajemen saluran air.

Lebih jelasnya Klik di bawah ini

 https://www.youtube.com/watch?v=W1ZX8sziWnU&t=185s

 

Rabu, 02 Oktober 2019

10 PATAKA MAJAPAHIT



Sepuluh PATAKA utama yang menjadi pengampu lembaga-lembaga pemerintahan di era kerajaan (Majapahit). Hiasan yang terletak diujung tongkat yang mengibarkan panji kebesaran lembaga pemerintahan utama ini termasuk ROYAL REGALIA (tanda-tanda kebesaran kerajaan).

Bagian atas dari kiri ke kanan, kemudian bawah kiri ke kanan dan ujung :

1.   SANG HYANG NAGA BARUNA
Pengampu panji kebesaran GETIH GETAH SAMUDRA, penguasa maritim Nusantara.

2.   SANG HYANG DWIJA NAGA NARESWARA
Pengampu panji kebesaran GULA KELAPA, penguasa Nusantara.

3.   SANG HYANG PADMANABA WIRANAGARI
Pengampu panji kebesaran SURYA WILWATIKTA, lembaga tertinggi kerajaan WILWATIKTA.

4.   SANG HYANG NAGA PANCAWIRA AMUKTINAGARI
pengampu panji kebesaran RAJA WANGSA, panji keluarga penguasa kerajaan WILWATIKTA.

5.   SANG HYANG NAGA AWAMABHUMI
Pengampu panji kebesaran KUTARAMANAWA DHARMANAGARI, lembaga hukum tertinggi.

6.   SANG HYANG DWIJA NAGA WIRADHARMA
Pengampu panji kebesaran DWIJA WIKU WIRADHARMA, lembaga panembahan PAWITRA dan WILIS.

7.   SANG HYANG CHAKRABHAWANA
Pengampu panji kebesaran DHARMADYAKSA KASOGATAN, lembaga agama BUDHA.

8.   SANG HYANG NAGA PANCADHAKSINA
Pengampu panji kebesaran DHARMADYAKSA KASAIWAN, lembaga agama HINDU.

9.   SANG HYANG NAGA HANANTABOGA
Pengampu panji kebesaran DHARMAHAJI KARESYAN, lembaga agama KEPERCAYAAN LELUHUR.

10. SANG HYANG NAGA DHARMAPUTRA
Pengampu panji kebesaran TUNGGULMANIK, LEMBAGA BELA NEGARA KELUARGA RAJA.


Kamis, 22 Agustus 2019

Praja Mangkunegaran

Praja Mangkunegaran
===========
Indonesia pd masa kerajaan telah memiliki pasukan elit seperti TNI saat ini.Sebut saja di kerajaan Majapahit dikenal pasukan bernama Prajurit Bhayangkara.Beberapa ratus tahun kemudian,pd masa Praja Mangkunegaran muncul pasukan modern&profesional bernama Legiun Mangkunegaran.Kejayaan Legiun Mangkunegaran terlihat dari bangunan kavaleri-artileri markas Legiun Mangkunegaran yg berada di sebelah timur Puro Mangkunegaran
====
Pembentukan Legiun Mangkunegaran tidak dpt dilepaskan dari tradisi kemiliteran yg diletakkan oleh Pangeran Sambernayawa/KGPAA Mangkunegara I.Embrio dari Legiun Mangkunegaran adlh pasukan gerilya yg berjuang selama belasan tahun bersama Pangeran Sambernyawa.Setelah Pangeran Sambernyowo berkuasa pd tahun 1757,pasukan tersebut menjadi satuan militer Praja Mangkunegaran.Sebanyak 12 kesatuan yg berpengalaman bergerilya tetap dipertahankan&ditambah dengan 22 unit infanteri,kavaleri&artileri yg terdiri dari masing² 44 orang
====
Setelah Mangkunegara I wafat,satuan militer itu terus dikembangkan.Mangkunegara II adlh raja yg visioner.Pd tahun 1808 beliau membentuk Legiun Mangkunegaran.Mangkunegara II terinspirasi dari pasukan modern Grande Armee,angkatan darat terkuat di dunia saat itu yg dipimpin oleh Napoleon Bonaparte.Nama legiun juga mengadopsi dari organisasi militer Perancis yakni Legionnaire/Legiun yg berarti pasukan bala tentara.Tidak hanya nama,Legiun Mangkunegara juga mengadopsi militer Perancis secara fisik,persenjataan,taktik&organisasi
====
Mangkunegara II memiliki alasan kuat untuk tidak menyukai Belanda tetapi demi pembangunan militer yg kuat untuk sementara waktu mendahulukan kepentingan kerajaan dengan jalan mengundang perwira² militer Belanda,Prancis&Inggris yg profesional untuk melatih Legiun Mangkunegaran.Mangkunegara II membentuk Legiun Mangkunegaran sebagai alat legitimasi Mangkunegara yg bertahta&mengamankan diplomasi Praja Mangkunegan.

Selasa, 06 Agustus 2019

Raden Wijaya sang pangeran sunda

PAKUAN PAJAJARAN DI TAHUN 1280-AN

     Pada tahun 1280-an ibukota kerajaan Sunda, Pakuan, geger, karena kematian sang putra mahkota kerajaan Sunda, Pangeran Jayadarma, yang mendadak di usia yang relatif muda. Ada desas desus di masyarakat bahwa sang putra mahkota itu diracun.  
     Hal ini menjadikan istri sang putra mahkota, Dyah Lembu Tal yang berasal dari Singasari sangat terpukul dan resah.  Ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke Singasari ke tempat mereka berasal. Ia berpamitan kepada mertuanya Prabu Darmasiksa untuk kembali ke tanah Jawa (singasari) dengan membawa putranya, hasil perkawinannya dengan Rakeyan jayadarma yang masih kecil, yang bernama Wijaya atau lengkapnya Sang Nararya Sanggramawijaya
Wijaya sebenarnya secara otomatis menjadi putra mahkota kerajaan Sunda, setelah ayahnya, Rakeyan Jayadarma meninggal. Tetapi karena ketidakjelasan status Dyah Lembu Tal yang ditinggal suaminya, menjadikan Sang Putra mahkota Sunda itu akhirnya di ajak pulang oleh ibunya  ke negeri kakeknya dari pihak ibunya dari kerajaan Singasari.


Dalam naskah Carita parahiyangan  kakek Wijaya, yang bernama Prabu Darmasiksa, raja kerajaan Sunda ke-25, dipuji sebagai titisan Dewa Wisnu.

Disilihan deui ku Sang Rakéyan Darmasiksa, pangupatiyan Sanghiyang Wisnu, inya nu nyieun sanghiyang binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahiyangan.
Ti naha bagina?T i sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sanghiyang Darma ngawakan Sanghiyang Siksa.
Prabu Darmasiksa atau Prabu Ghuru Darmasiksa  merupakan raja ke-25 dari kerajaan Sunda dihitung dari maharaja Tarusbawa.  Dalam naskah wangsakerta kitab  Pustaka Rājya-Rājya i Bhumi Nusāntara, Prabu  Darmasiksa disebut dengan gelar Prabu Sanghyang Wisnu atau disebut juga Sang Paramārtha Mahāpurusa
Prabu Darmasiksa naik tahta sunda menggantikan ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), dan  berkedudukan di Pakuan. Prabu Dharmakusuma merupakan raja sunda ke-24, yang berkuasa selama 18 tahun. Dalam Naskah carita Parahiyangan, Prabu darmasiksa ini disebut dengan Sang Lumahing Winduraja (yang dipusarakan di Winduraja).
Menurut Carita Parahiyangan, Prabu Darmasiksa ini dikaruniai mempunyai umur yang panjang, dan berkuasa selama 150 tahun. (Lawasniya ratu saratuslimapuluh tahun). Sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan, setidaknya ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa pemerintahannya.

Ia naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M yang didirikan oleh Cucuny .

Istri dan Anak anaknya
Prabu Darmasiksa menikah dengan putri dari kerajaan Sriwijaya (Swarnabhumi), keturunan Maharaja Sanggramawijayo tunggawarman. Dari perkawinannya dengan putri Swarnabhumi Raja Sunda tersebut  berputera beberapa orang, dua orang di antaranya masing-masing yaitu: Rakryan Jayagiri atau  Rakryan Jayadarma dan Rakryan Saunggalah atau sang Prabhu Ragasuci .

Rakryan Ragasuci
Rakryan Ragasuci menikah dengan Darapuspa, putri Maharaja Trailokyaraja Maulibhuçanawarmmadewa, Raja Melayu Dharmaçraya. Sedang kakaknya Darapuspa yaitu Darakencana menjadi istri Prabhu Kretanagara dari Singashari. Dan kakandanya Darakencana yaitu Tribhuwanaraja Mauliwarmmadéwa dijadikan rajamuda pada waktu itu juga. Kemudian dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya.
Adapun perkawinan Sang Prabu Ragasuci dengan puteri Melayu Darapuspa berputera beberapa orang, salah satu di antaranya Sang Prabu Citraghanda Bhuwanaraja, yang menggantikan ayahnya yaitu Sang Prabu Ghuru Dharmasiksa menjadi raja Sunda. 

Raden Wijaya
Wijaya sang pendiri Majapahit, dalam buku buku sejarah biasanya di namai Raden Wijaya. Padahal dalam sejarah tempo dulu (pada abad 13-14 M) belum dikenal gelar raden. Wijaya dalam Naskah Pararton  disebut dengan Harsawijaya.  Naskah Negarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 M, menyebut dengan Dyah Wijaya. Dan dalam prasasti Kudadu disebut dengan Nararya Sanggramawijaya.
Raden Wijaya adalah putra Rakeyan Jayadarma, putra mahkota kerajaan Sunda yang meninggal karena diracun, dan merupakan cucu dari Prabu Darmasiksa, raja sunda ke-26. Ibu Raden Wijaya bernama  Dewi Singhamurti atau Dyah Lembu Tal merupakan putra  Mahisa Campaka  dari kerajaan Singashari, ketika suaminya meninggal, ia membawa sang putra kembali ke negeri asalnya Singashari. 

Di Singhasari ia dibesarkan dilingkungan istana. Diceritakan  bahwa ketika Raden Wijaya menginjak remaja, ia sangat pandai, mahir dalam segala ilmu, mahir memanah dan mahir dalam ilmu kenegaraan serta ilmu yang lainnya. Karena  Raden Wijaya  tinggal di keraton Singhasari bersama saudaranya yaitu Prabu Kretanagara, serta dia selalu belajar kepada beberapa menteri dan senapati dan orang-orang yang mahir dalam ilmu pengetahuan. Karena itu, ketika Prabhu Kretanagara menjadi raja Singashari, Raden Wijaya dijadikan senapati angkatan perang Singhasari.
Ia menikah dengan putri dari raja Singahsari, Prabu Kertanegara. Karena itu ketika Prabu Kertanegara meninggal karena serangan dari Jayakatwang dari kediri. Dan ia dapat memamfaatkan serangan kerajaan Mongol terhadap kediri, sehingga kediri hancur. Maka ia kemudian diangkat menjadi raja, dan sekaligus membangun kerajaan baru yang kemudian dinamai kerajaan majapahit atau Wilwatika.
Ia diangkat menjadi raja pada  tanggal 15 kartika 1215 saka atau 10 november 1293 m, dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.

Rabu, 31 Juli 2019

Bendungan Waringin Sapta

Bendungan Waringin Sapta

Kerajaan Mataram Kuno merupakansalah satu kerajaan Hindu yang ada di Jawa pada abad ke-8, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno ini bermula sejak pemerintahan Raja Sanjaya yangmempunyai gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kerajaan Mataram Kuno diperintahnya hingga  732M. Pada abad ke-8 yaitu awal berdirinya kerajaan Mataram Kuno, kerajaan ini berpusat di Jawa Tengah. Kemudian pada abad ke-10 pusat kerajaan Mataram Kuno ini pindah ke Jawa Timur. Dan kerajaan ini mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbeda, yaitu agama Hindu dan Buddha.

Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya, dan Sailendra. Pendiri dari wangsa Sanjaya ini sendiri adalah Raja Sanjaya, yang menggantikan Raja sebelumnya yaitu Raja Sanna. Hingga pada akhirnya ketika Raja Sanjaya wafat, kekuasaan kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, yakni pendiri wangsa Sailendra. Banyak terjadi konflik pada masa kekuasaan Dapunta Sailendra. Hingga akhirnya pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah.
Kerajaan Mataram di Jawa Timur pada abad ke-10, setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Mpu Sindok, yakni cucu dari Sri Maharaja Daksa, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh, yaitu wilayah antara Gunung Semeru dan Gunung Wilis, Jawa timur. Kerajaan yang didirikan Mpu Sindok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Airlangga mulai memulai ekspedisi-ekspedisinya di Jawa pada tahun 1028-1029 M dengan maksud menaklukkan kembali kerajaannya yang terbagi antara beberapa pesaing. Dimulai dengan penyerangan Bhismaprabhawa, yakni seorang putra raja.
 Airlangga dalam prasati Pucangan merupakan menantu dari Darmawangsa Teguh. Berarti dia bukanlah keturunan Mpu Sendok pendiri Dinasti Isana secara langsung. Hal itu yang membuat raja-raja bawahan Darmawangsa Teguh yang dulu tidak patuh lagi pada maharaja. Maka sebagian besar masa pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan menaklukan raja-raja bawahan. Dalam prasasti pucangan dijelaskan bahwa Airlangga menaklukan beberapa penyerangan yaitu:
1.    Menyerang ke Wuratan dan mengalahkan raja Wisnu Prrabhawa (pada bulan Phalguna tahun 951 Saka/15 Februari 1030 M).
2.    Mengalahkan Haji Wengker yang bernama Panuda dan menaklukan kerajaannya pada tahun 953 Saka/1031 M, tapi Haji Wengker dapat melarikan diri dan melakukan pemberontakan pada tahun 957 M. Pemberontakan itu dapat di atasi dan Tahun 959 Saka Haji Wengker dapat ditangkap di Kapang.
3.    Menaklukan raja Hasin pada tahun 952 Saka (28 April 1030 M) hal ini tertuang dalam prasasti Pucangan.
4.    Pada tahun 954 Saka (1032 M) Darmawangsa Airlangga menyerang raja Wurawari dan akhirnya raja Wurawari dapat dikalahkan. Dengan dikalahkannya raja Wurawari maka lenyaplah perusuh diseluruh tanah Jawa.

Pada tahun 1029, Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wishnupraba dari Waratan. Lalu pada tahun 1030 ia juga menaklukan Raja Bhismaprabhawa dari Wengker. Akhirnya pada tahun 1032-1033, Airlangga berhasil membalas kematian mertuanya dengan mengalahkan Raja Wurawari. Dengan demikian Airlangga berhasil mempersatukan kerajaan warisan Dharmawangsa yang terpecah belah dan sejak itu ia mulai membangun negerinya. Airlangga mengangkat Narottama sebagai penasehat dan pembantu kerajaan dan diberi gelar Rakryan Kanuruhan. Ibu kota Medang Kamulan lalu dipindahkan ke Kahuripan. Airlangga juga memperhatikan kehidupan rakyat agar makmur dan sejahtera. Usahanya antara lain, membuat bendungan sungai Brantas di Waringin Sapta. Peristiwa tersebut ditandai dengan pembuatan Prasasti Kamalagyan. Bendungan ini dibuat karena sungai Brantas sering meluap sehingga banyak desa-desa di hilir yang kebanjiran. Hal itu membuat rakyat menderita dan membawa kerugian yang tidak sedikit. Jika banjir terjadi, sawah dan kebun rusak sehingga hasil panen amat berkurang, akibatnya pajak yang masuk ke kas kerajaan pun menipis.

Dengan pembuatan bendungan di Waringin Sapta, aliran Sungai Brantas dapat dikendalikan. Hal itu bukan hanya membuat irigasi menjadi lebih baik, melainkan lalu lintas di sungai Brantas pun menjadi lebih ramai. Banyak pedagang dari luar daerah yang dapat berlayar ke arah pedalaman dan sampai di tempat berlabuh yang bernama Hujung Galuh. Raja Airlangga membebaskan rakyat sekitar bendungan dari pajak, tetapi sebagai gantinya mereka harus menjaga bendungan itu. Untuk membangun negara yang kuat, rakyat harus sejahtera. Untuk itu aliri sawah, jaga rakyat dari bencana air maupun lumpur. Airlangga mewujudkannya dan mewariskan kepada kita sebagai kearifan memimpin negara. Setelah bendungan selesai dibuat aliran sungai dipecah menjadi 3 arah utara. Selain itu raja juga membangun pertapaan atau tempat suci di gunung Pugawat di daerah Ngimbang dan merupakan desa Turun Hyang sebagai Sima. Pada masa Airlangga ada seorang pujangga yang berhasil mengubah kitab Mahabrata menjadi Arjunawiwaha. Pujangga itu bernama Mpu Kanwa (Tahun 939 Saka).
Banjir dalam prasasti Kamalagyan disebutkan terjadi berkali-kali. Maksudnya adalah banjir tersebut terjadi setiap tahun atau setiap musim hujan. Didalam prasasti tertulis bahwa banjir tersebut memusnahkan tempat suci dan wilayah desa termasuk juga sawah. Dalam artian bahwa banjir tersebut benar-benar besar, hingga kemungkinan merusak lahan pertanian Jawa Kuna. Disebutkan pula sejumlah yang mengalam banjir yaitu Kala, Kalagyan, ThaniJhumput, Wihara Cala, kamulan, dan prapatan. Sumber banjir itu adalah meluapnya Sungai (Bengawan). Sungai Brantas merupakan salah satu sungai di Jawa Timur yang sistem setiap tahun menimbulkan ancaman bagi para petani karena selalu meluap pada musim hujan.
Melihat dari prasasti tersebut, prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada saat pembangunan Bendungan, yang dibangun untuk menanggulangi banjir. Dalam hal ini bendungan yang dibangun adalah bendungan di daerah Waringin Sapta aliran cabang dari sungai bengawan atau sungai Brantas. Pembangunan bendungan dilakukan unuk menanggulangi banjir yang sering terjadi dan menghancurkan tanggul yang telah ada, sehingga banyak sawah yang rusak dan sungai tidak dapat dilewati perahu para pedagang. Faktor penyebab banjir di wilayah Waringin Sapta disamping hujan yang cukup deras, juga karena peran sungai terhadap material gunung berapi. Material gunung berapi yang keluar akibat letusan gunung berapi yang ada disekitar aliran sungai Brantas, (misalnya gunung Wilis, gunung Welirang, Gunung Kelud, dan gunung Anjasmoro) yang terendap oleh media sungai Brantas.
Dari prasasti kamalagyan juga dapat diketahui, bahwa banjir di Waringin Sapta telah sering ditanggulangi dengan pembuatan bendungan oleh masyarakat sekitar. Namun tidak juga berhasil diatasi, bendungan yang dibuat ikut hancur diterjang banjir. Melihat permasalahan yang tidak juga selesai dan sangat merugikan, maka Raja Airlangga berkenan turun tangan menangani bencana tersebut. Penanganan yang dilakukan oleh Raja Airlangga adalah pembuatan bendungan untuk memperbaiki tanggul yang selalu rusak. Pada intinya prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga untuk memperingati pembangunan bendungan di Waringin Sapta. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang setiap tahun datang dan merusak tangguk yang telah ada, serta banyak merusak sawah, bangunan suci serta mengacaukan perdagangan.
Pembangunan bendungan ini dapat disimpulkan  bahwa pada masa Jawa Kuna sudah dikenal sistem pengelolaan air. Usaha-usaha untuk mengelola air, tampaknya menjadi pusat perhatian dari penguasa-penguasa kerajaan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menyebutkan tentang pengelolaan air. Dan dapat diketahui strategi penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna abad V sampai abad XI Masehi. Adapun strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir adalah sebagai berikut:
1.    Pembuatan aliran sungai yang dialirkan ke laut. Air yang melimpah dapat mengalir kelaut sehingga terhindar dari bahaya banjir.
2.    Pembuatan bendungan. Air sungai yang meluap dapat tertahan oleh bendungan sehingga air tidak menggenangi sawah maupun pemukiman penduduk. Air sungai tersebut kemudian dialirkan ke sawah-sawah melalui jaringan irigasi.

Dalam masa Airlangga peperangan demi peperangan dijalaninya untuk membangun sebuah kerajaan. Satu persatu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukannya. Namun pada tahun 1032 Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa yang pada akhirnya juga dapat ditaklukannya. Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan di daerah Sidoarjo sekarang ini. Musuh wanita dapat dikalahkan, bahkan kemudian Raja Wurawari pun dapat dihancurkan pula. Saat itu wilayah kerajaan mencakup hampir sekuruh wilayah Jawa Timur. Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang lazim dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang sebenarnya Cuma nama ibu kota, lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Kertanagara. Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha, berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon Arang.
Pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya. Calon rja yang sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, memilih menjadi pertapa dari pada naik takhta. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu begian barat bernama Kadiri beribu kota Daha, diserahkan kepada Sri Samawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa .

Senin, 29 Juli 2019

Analisa Candi Kagenengan

   Linira sang Amurwabhumi i saka 1169. Sira dhinarmeng Kagenengan.” (Padmapuspita, 1966:24).  Waktu meninggalnya sang Amurwabhumi pada tahun Saka 1169. Beliau dicandikan di Kagenengan." ( Uraian Pararaton ) .
      ring saka syabdhi rudra krama kalahaniran mantuking swargga loka, kyating rat sang dhinarmma dwaya ri kagenengan sewa bhoddhengusana.”
Artinya: “... pada tahun saka Asyabdhirudra-1149 (1227 Masehi) Baginda berpulang ke alam baka (Siwa Loka), tersohor di dunia Baginda diabadikan di Candi Kagenengan berwujud Siwa Buddha sejak dahulu." (Riana, 2009:207).
          Nagarakretagama menguraikan cukup detail mengenai tentang tempat pen-dharma-an Sri Rajasa sebagai cikal bakal atau pendiri Dinasti Rajasa. Uraian tersebut merupakan hasil pengamatan langsung Prapanca yang menyertai Raja Hayam Wuruk ketika tour de inspection di Kagenengan pada 1359 Masehi. Kemudian, Prapanca menggambarkan tempat tersebut pada Pupuh XXXVI dan XXXVII dalam Negarakretagamasebagai berikut:

Pupuh XXXVI:

1. Pada subhakala Baginda berangkat ke selatan menuju Kagenengan, akan berbakti di pen-dharma-an bhatara bersama segala pengiringnya, harta alat, dan makanan mengiringkan bunga beserta upacara indah didahului kibaran bendera terdukung ramai orang menonton.
2. Setelah penyekaran, narapati keluar dikerumuni rakyat menghadap, para pendeta Siwa-Buddha, dan bangsawan dekat berderet di sisi beliau, tidak berkata waktu baginda bersantap menurut nafsu kehendak hati, seadanya rakyat dianugrahi kain-kain yang meresapkan pandangan.
Replika Kitab Negarakertagama

Pupuh XXXVII:

1. Tersebut keindahan candi makam wujudnya tiada bertara pintu gerbangnya terlampau indah lagi tinggi bersabuk dari luar, di dalam terbentang halaman dengan balai berderet di tepinya, penuh segala macam bunga tanjung (mimusops elengi) nagasari indah dan ajaib.
2. Menara menjulang tinggi di tengah-tengah terlampau indah, seperti Gunung Meru tempat Siwa dengan Arca Siwa di dalamnya, layak karna putra Girinatha dipandang raja dewa menjelma, trah leluhur Sri Naranata yang disembah diseluruh dunia.
3. Sebelah selatan pen-dharma-an ada tempat suci yang terbengkalai, tembok dan pintu gerbangnya tinggi kiranya tempat suci kebudaan, di dalamnya ada lantai kakinya barat telah hilang tinggal yang timur hanya sanggar dan pamujaan yang utuh, temboknya tinggi dari bata merah.
4. Di sebelah utara tanah dan kaki balai telah merata, terpencar tanamannya nagapuspa, merah halamannya waktu bertunas berbunga, di luar pintu pabaktan tanahnya tinggi terbuang (longsor) luas dalamnya tertutup jalannya penuh rumput serta lumut.
5. Laksana perempuan sakit merana lukisannya lesu pucat, bertebaran daun cemara yang diterpa angin kusut bergelung, kelapa gading melulur tapasnya pinang letih lusuh melayu, bambu gading melepas pelepahnya layu merana tak ada hentinya (Muljana, 2006:361-362 dan Riana, 2009:187-191 dengan sedikit perubahan).
Kemudian, lebih lanjut lagi informasi mengenai tempat pen-dharma-an Ken Angrok di Kagenengan terdapat pada prasasti Mula-Malurung (1254 M), juga disebutkan berhubungan dengan kakek dari Nararya Smining Rat (yang mengeluarkan prasasti), kakeknya adalah pendiri Kerajaan Tumapel yang meninggal di dampar kencana (singgasana) dan di-dharma-kan di Kagenengan (Suwardono, 2013:242).  Hanya keturunannya saja yang dengan senang hati membangun caitya bagi sang raja. Kalau kita lihat raja raja Singosari dari Raja Anusapati sampai ke Raja Kertanegara yg memerintah kerajaan Singosari semua merupakan keturunan trah dari Tunggul Ametul . Pertanyaan ny apakah raja raja tersebut membangun sebuah bangunan suci kepada eyang Prabu Ken Arok yg merupakan dalang dari pembunuhan Akuwu Tunggul ametung dan Ken Arok bukan leluhur dari Raja raja Singosari. 
        Setelah Singosari dikalahkan gelang gelang baru lah trah dari Ken Arok Raden Wijaya menjadi raja dengan mendirikan kerajaan Majapahit di alas trik. 
     Sumber yang membahas tentang kagenengan berada di alas trik memang tidak ada tapi kalau kita melihat kajian balar yang meneliti selama 1986 sampai 1994 pernah menyebut di daerah tarik ada nama Pagenengan  yang pernah di kaji oleh balar jogja. Menurut warga yang pernah melihat disana ditemukan kepala budha dan patahan mahkota dari sebuah arca serta arca dwarapala berkepala kera atau Anoman. Tentunya analisa ini perlu dikaji bersama dengan tim yang dahulu pernah meneliti di area Pagenengan baik temuan apa saja dan hasil dari kajian tersebut . Kalau merujuk Ken Arok di candi kan sebagai siwabudha sangat lah cocok karena di area tersebut terdapat patahan dari arca Siwa dan Budha . 
      Analisa yang berhubungan dengan Prabu Hayam pada Negarakertagama 

Pupuh XXXVI:

1. Pada subhakala Baginda berangkat ke selatan menuju Kagenengan, akan berbakti di pen-dharma-an bhatara bersama segala pengiringnya, harta alat, dan makanan mengiringkan bunga beserta upacara indah didahului kibaran bendera terdukung ramai orang menonton. Karena alat transportasi kebanyakan melalui jalur air kemungkinan sang prabu berangkat dari antawulan menuju ke pelabuhan Canggu yang berada di sisi Utara kedaton Majapahit awal . Setelah sang prabu beliau sampai di Canggu sang prabu berjalan ke selatan menuju ke tempat pendharmaan atau bangunan suci kagenengan yang tak jauh dari kedhaton .

NB
Merupakan analisisa jangan dijadikan sebagai bahan perdebatan karena kita semua sangat bangga dengan kasanah sejarah nuswantara
Sumber di ambil dari cerita tutur dan kajian berkala balar jogja. Kalau pun analisa ini salah kami mohon maaf.




Rabu, 24 Juli 2019

IDENTIFIKASI JALUR PELARIAN RADEN WIJAYA

IDENTIFIKASI JALUR PELARIAN RADEN WIJAYA

    Nararya Sanggramawijaya, atau yang lebih terkenal dengan nama Raden Wijaya, adalah pendiri Kerajaan Majapahit yang pada tahun 1292 memimpin pasukan Singhasari menghadapi serangan tentara Glang-glang di utara. Semula ia mengejar musuh, namun kemudian berubah jadi dikejar musuh, hingga akhirnya mengungsi ke Madura, untuk bekerja sama dengan Arya Wiraraja di Songeneb.

   Kisah perja Raden Wijaya ini terdapat dalam prasasti Kudadu, yang dikeluarkan pada tahun 1294. Saat itu Raden Wijaya telah berhasil mengalahkan Prabu Jayakatwang dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Prasasti tersebut merupakan piagam penghargaan kepada pemimpin Desa Kudadu yang telah melindungi dirinya saat dikejar-kejar pasukan musuh pada tahun 1292.
   Berikut adalah kutipan terjemahan dari prasasti tersebut, khusus pada bagian yang menceritakan rute perjalanan Raden Wijaya dari Singhasari menuju Madura :
… Sri Maharaja (Kertarajasa Jayawardhana) dulu saat belum menjadi raja, dan masih bernama Nararya Sanggramawijaya, saat itu Beliau dalam kesedihan karena dikejar-kejar musuh hingga sampai ke Kudadu. Penyebabnya ialah, Sri Kertanagara berpulang ke alam Siwa-Buddha karena diserang Sri Jayakatyeng dari Glang-glang, yang berubah menjadi musuh, berlaku curang, mendurhakai sahabat, mengingkari perjanjian, terdorong nafsu ingin menyirnakan Sri Kertanagara di negara TUMAPEL.
Ketika pasukan Sri Jayakatyeng terdengar telah sampai di JASUN WUNGKAL, Sri Kertanagara pun mengutus Sri Maharaja dan Sang Ardharaja untuk menghadapi mereka. Sang Ardharaja adalah menantu Sri Kertanagara yang juga putra Sri Jayakatyeng. Maka, berangkatlah Sri Maharaja dan Sang Ardharaja dari negara Tumapel. Sesampainya di KEDUNG PELUK, Sri Maharaja bertemu musuh, dan berperang melawan mereka. Pihak lawan kalah dan melarikan diri, tidak diketahui berapa jumlah korban yang tewas.
Sri Maharaja dan pasukannya bergerak sampai di LEMBAH, di sana tidak bertemu musuh. Kemudian Sri Maharaja bergerak ke barat menuju BATANG, di sana mereka bertemu musuh tetapi tidak melawan. Musuh pun bergerak mundur. Sri Maharaja bergerak dari Batang, sampai di KAPULUNGAN dan bertemu musuh. Terjadilah pertempuran di sebelah barat Kapulungan. Pihak musuh kalah dan banyak yang terluka.
Sri Maharaja dan pasukannya bergerak lagi dan sampai di RABUT CARAT. Tidak lama kemudian, terlihat musuh datang dari arah barat. Sri Maharaja dan pasukannya pun menghadapi mereka. Banyak musuh yang tewas dan melarikan diri. Semuanya takluk melawan Sri Maharaja. Pada saat itulah terlihat bendera musuh berkibar-kibar di sebelah timur HANIRU, merah dan putih warnanya. Melihat bendera itu, Sang Ardharaja menyarungkan senjata, lalu melarikan diri menuju Kapulungan. Hal ini membuat pasukan Sri Maharaja (Sanggramawijaya) menjadi rusak, namun Beliau tetap berbakti kepada Sri Kertanagara. Oleh sebab itu, Beliau tetap tinggal di Rabut Carat, kemudian bergerak ke utara sampai di PAMWATAN APAJEG di seberang utara sungai. Saat itu pengikut Sri Maharaja berjumlah enam ratus orang.
Pagi harinya, musuh datang menyerang. Pasukan Sri Maharaja melawan mereka. Tentara Sri Maharaja semakin berkurang, karena ada yang melarikan diri meninggalkan Beliau. Sri Maharaja berniat menuju ke TERUNG, untuk meminta bantuan akuwu di sana yang bernama Rakryan Wurwagraja yang dulu dilantik oleh Sri Kertanagara, dengan harapan bisa memperoleh bala bantuan dari sekitar timur Terung. Para pengikut pun ikut senang atas rencana ini.
Sri Maharaja dan pasukan berangkat menuju KULAWAN pada malam hari, karena takut bertemu musuh yang berjumlah sangat banyak. Namun, sesampainya di sana, mereka justru bertemu musuh. Karena dikejar-kejar musuh, Sri Maharaja pun bergerak ke arah utara, mengungsi ke KEMBANGSRI. Di sana pun Sri Maharaja bertemu musuh, dikejar-kejar dan berlari ke arah utara, menyeberangi sungai. Para pengikut Beliau berenang dengan tergopoh-gopoh, banyak yang mati hanyut, dan banyak pula yang terkejar musuh lalu ditusuk tombak. Mereka yang selamat melarikan diri tak tentu arah, sehingga pengikut Sri Maharaja hanya tinggal dua belas orang saja yang mengawal Beliau.
Siang harinya, Sri Maharaja dan para pengikut sampai di KUDADU dalam keadaan lapar, letih, dan berduka. Kepala desa Kudadu menyambut mereka dan memberikan bakti berupa makanan, minuman, nasi, semua dipersembahkan kepada Sri Maharaja. Kepala desa Kudadu juga memberikan tempat persembuyian kepada Sri Maharaja dan pasukannya agar tidak ditemukan musuh. Kemudian, kepala desa Kudadu menunjukkan jalan dan mengantarkan Sri Maharaja hingga sampai ke REMBANG, ketika Beliau (Sanggramawijaya) berniat mengungsi ke MADURA .
Dari kutipan prasasti di atas, kita temukan nama-nama tempat, yaitu Tumapel, Jasun Wungkal, Kedung Peluk, Lembah, Batang, Kapulungan, Rabut Carat, Haniru, Pamwatan Apajeg, Terung, Kulawan, Kembangsri, Kudadu, Rembang, Madura. Marilah kita bahas satu persatu rute yang dilewati Raden Wijaya dalam peristiwa di tahun 1292 tersebut.
TUMAPEL
Tumapel adalah nama kerajaan yang dipimpin Sri Kertanagara, yaitu mertua Raden Wijaya. Menurut Kakawin Nagarakretagama, kerajaan ini memiliki ibu kota bernama Singhasari. Tidak perlu diragukan lagi, wilayah yang dahulu bernama Singhasari saat ini bernama Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
JASUN WUNGKAL
Ketika pasukan Glang-glang telah terdengar sampai di Jasun Wungkal, Sri Kertanagara mengutus Raden Wijaya dan Ardharaja untuk menghadapi mereka. Secara harfiah, Jasun berarti bawang, dan Wungkal berarti batu. Jasun Wungkal berarti Bawang Batu. Di manakah letaknya?
Apakah Jasun Wungkal saat ini bernama Kota Batu? Tidak mungkin. Kota Batu terletak di sebelah barat Kecamatan Singosari, sedangkan Kapulungan, yaitu tempat terjadinya pertempuran antara pasukan Raden Wijaya dan musuh terletak jauh di utara (akan dibahas di bawah). Dengan kata lain, Kapulungan harus terletak di antara Tumapel dan Jasun Wungkal.
Ada pendapat bahwa Jasun Wungkal sekarang bernama Desa Watukosek, yang terletak di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Ada pula pendapat bahwa Jasun Wungkal sekarang bernama Dusun Bangkal, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Akan tetapi, Bangkal sendiri artinya adalah “pangkal”, tentunya berbeda dengan Wungkal yang bermakna “batu”. Dalam hal ini tentunya Watukosek lebih masuk akal. Hanya saja perlu penelitian lebih lanjut, mengapa Bawang Watu bisa berubah jadi Watu Kosek.
Sekadar informasi, nama desa Jasun Wungkal kemudian digunakan oleh S. Tidjab dalam sandiwara radio Tutur Tinular sebagai tempat tinggal tokoh antagonis Mpu Tong Bajil sesudah Singhasari runtuh.
KEDUNG PELUK
Dari kutipan prasasti di atas, dapat dibayangkan bahwa pasukan Raden Wijaya bergerak dari Tumapel ke arah utara, sedangkan pasukan Glang-glang bergerak dari Jasun Wungkal ke arah selatan. Pertempuran pertama terjadi di Kedung Peluk.
Pada saat ini terdapat desa bernama Kedung Peluk di Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo. Namun, lokasi ini letaknya terlalu jauh di utara Rabut Carat yang terletak di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan (akan dibahas di bawah). Padahal, Rabut Carat seharusnya berada di utara Kedung Peluk. Dengan demikian, Kedung Peluk yang sekarang ada di Sidoarjo jelas tidak sama dengan Kedung Peluk yang ada prasasti Kudadu.
Kedung Peluk yang terdapat di prasasti harus dicari lokasinya di jalur antara Kecamatan Singosari (Malang) dan Kecamatan Gempol (Pasuruan).LEMBAH dan BATANG
    Pasukan Glang-glang di Kedung Peluk berhasil dipukul mundur oleh pasukan Raden Wijaya. Jelas ini adalah siasat mundur untuk memancing Raden Wijaya agar semakin jauh meninggalkan ibu kota Singhasari di selatan. Dengan kata lain, rute mundurnya pasukan Glang-glang harus menuju ke arah utara.
Disebutkan dalam prasasti, bahwa Raden Wijaya mengejar musuh hingga ke Lembah. Saya kurang tahu di mana daerah yang dimaksud dengan Lembah tersebut. Apakah lembah di sekitar Gunung Welirang? Ataukah mungkin Lembah itu sekarang bernama Desa Lemahbang, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan? Saya tidak berani memastikan. Secara makna sudah berbeda, meskipun secara bunyi mirip.
Setelah melewati Lembah, pasukan Raden Wijaya bergerak ke barat, hingga sampai di Batang. Di sana mereka bertemu musuh tetapi tidak terjadi perlawanan. Untuk lokasi Batang juga saya belum bisa memastikan.
KAPULUNGAN
  Setelah melewati Batang, pasukan Raden Wijaya mengejar musuh hingga sampai di Kapulungan. Terjadilah pertempuran di sebelah barat Kapulungan.
Untuk identifikasi Kapulungan tidak terlalu sulit, karena sampai saat ini masih ada Desa Kepulungan, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Lokasinya terletak di utara Kecamatan Singosari dan di sebelah selatan Desa Carat yang merupakan toponimi Rabut Carat (akan dibahas di bawah).
RABUT CARAT dan HANIRU
  Setelah mengalahkan musuh di Kapulungan, pasukan Raden Wijaya bergerak lagi dan sampai di Rabut Carat. Di sana pun mereka kembali mengalahkan musuh. Untuk identifikasi Rabut Carat tidaklah sulit karena saat ini masih terdapat Desa Carat di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.
Rabut Carat ini adalah tempat di mana Ardharaja memisahkan diri dari pasukan Raden Wijaya untuk kemudian bergabung dengan pihak musuh. Penyebabnya ialah, terlihatnya bendera musuh di sebelah timur Haniru, berwarna merah dan putih. Entah di mana lokasi Haniru saat ini, yang jelas tidak boleh terlalu jauh dari Desa Carat. 
PAMWATAN APAJEG
Rabut Carat adalah titik balik nasib Raden Wijaya dari yang semula mengejar musuh, berubah menjadi dikejar-kejar musuh. Ia dan pasukannya bergerak ke utara sampai di Pamwatan Apajeg. Berdasarkan kemiripan toponimi, saat ini masih terdapat Desa Pamotan di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, yang lokasinya berada di utara Desa Carat, sehingga sesuai dengan berita pada prasasti.
TERUNG
Raden Wijaya yang dalam posisi terdesak berniat meminta bantuan Rakryan Wuru Agraja di Terung. Sampai saat ini masih terdapat desa bernama Terung Kulon dan Terung Wetan di Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Posisinya terletak di arah barat laut Desa Pamotan.
KULAWAN
Dalam perjalanan menuju Terung, Raden Wijaya melewati Kulawan dan bertemu musuh di sana. Dengan kata lain, Kulawan harus terletak di antara jalur Kecamatan Porong dan Kecamatan Krian. Kemungkinan besar, Kulawan saat ini terletak di Kecamatan Tulangan, Kabupaten Sidoarjo. Mengapa terletak di Tulangan? Karena dalam prasasti disebutkan bahwa rencana ke Terung gagal karena bertemu musuh di Kulawan, sehingga pasukan Raden Wijaya berbelok ke utara menuju Kembangsri (akan dibahas di bawah).
Sekadar informasi, sandiwara radio Tutur Tinular mengisahkan bahwa tokoh utamanya yang bernama Arya Kamandanu berasal dari Desa Kurawan. Ada yang berpendapat bahwa, Kurawan diambil dari nama Wurawan, yang terletak di Madiun Selatan. Namun, hal ini jelas tidak tepat, karena Wurawan adalah tempat berdirinya Kerajaan Glang-glang, sehingga tidak mungkin Arya Kamandanu berasal dari tempat musuh berada.
Maka, yang paling memungkinkan adalah, Desa Kurawan dalam Tutur Tinular sama dengan Desa Kulawan dalam prasasti Kudadu.
KEMBANGSRI
Menurut prasasti Kudadu, pasukan Raden Wijaya dikejar-kejar musuh dari Kulawan menuju ke utara, hingga sampai di Kembangsri. Dengan kata lain, perjalanan menuju Terung di arah barat laut gagal total dan berubah menjadi ke utara.
Secara toponimi, di sebelah utara Kecamatan Tulangan saat ini terdapat Desa Bangsri di Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo. Dalam prasasti disebutkan bahwa para pengikut Raden Wijaya banyak yang tewas hanyut di sungai dekat Kembangsri. Sungguh kebetulan, bahwa di Desa Bangsri saat ini pun masih terdapat sungai pecahan Kali Brantas.
KUDADU dan REMBANG
Setelah melewati Kembangsri menuju ke utara, Raden Wijaya diterima oleh kepala Desa Kudadu dan bersembunyi di sana. Dengan kata lain, Kudadu terletak di sebelah utara Kembangsri. Kemudian, kepala Desa Kudadu mengantarkan Raden Wijaya menuju ke Rembang untuk selanjutnya mengungsi ke Pulau Madura.
Jika Kembangsri sama dengan Desa Bangsri, maka Kudadu mungkin sama dengan Desa Bringinbendo atau Desa Sambibulu, atau Desa Gilang yang posisinya terletak di antara Bangsri dan Rembang.
Adapun Rembang secara kemiripan toponimi dapat ditemukan saat ini, yaitu Desa Krembangan, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, yang lokasinya terletak di sebelah utara Bangsri. Selain itu, Krembangan juga terletak di dekat Kali Mas, yaitu pecahan Kali Brantas yang mengalir menuju Kota Surabaya dan akhirnya bermuara di Selat Madura. Itu artinya, Desa Krembangan sangat cocok sebagai lokasi Rembang dalam prasasti Kudadu.
Dengan demikian, identifikasi Rembang dengan Kecamatan Rembang di Kabupaten Pasuruan jelas kurang tepat, karena terlalu jauh. Tidak mungkin Raden Wijaya menempuh risiko kembali ke selatan hanya untuk berlayar ke Madura. Apabila ia menempuh jalur Kali Mas jauh lebih masuk akal daripada putar balik ke selatan.
Selain itu, Rembang juga tidak mungkin sama dengan Kabupaten Rembang-Lasem di Jawa Tengah. Jelas itu pun terlalu melenceng. Mana mungkin Raden Wijaya yang punya niat hendak ke Madura harus pergi ke Lasem terlebih dahulu? Ini jelas tidak masuk akal.
Demikian, sedikit pembahasan dan perlu dikoreksi.
Bahan bacaan : Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya karya Prof. Dr. Slamet Muljana (Bhratara 1979)

PENEMUAN SALURAN AIR KUNO DI DESA BULUSARI - GEMPOL PASURUAN

  Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan peninjauan terkait ditemukannya situs saluran air kuno yang bermaterialka...