Siwa, Agama Mayoritas di Majapahit
Agama sangat menentukan corak kehidupan masyarakat mau pun sistem pemerintahan yang berlaku; hal ini dapat dilihat pada sekelumit perkembangan Majapahit. Raden Wijaya sebagai pendiri Majapahit menerapkan sistem keagamaan secara dominan yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Sewaktu meninggal, ahli warisnya membuatkan baginya pendharmaan dalam bentuk Candi Sumber Jati di Blitar Selatan sebagai Bhatara Siwa. Wijaya pun didharmakan pada Candi Antapura di daerah Mojokerto sebagai Amoga Sidhi (Buddha). Raja Jayanegara, anak Wijaya, setelah meninggal didharmakan (dicandikan) di Sila Petak sebagai Bhatara Wisnu, sedangkan di Candi Sukalila sebagai Buddha.
Gajah Mada, yang menjabat sebagai panglima bhayangkari sewaktu pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi dan sebagai mahapatih semasa pemerintahan Hayam Wuruk, sangat tekun dalam menjalankan ajaran dharma. Raja Gayatri, ibunda Hayam Wuruk, memerintah putranya supaya benar-benar melaksanakan upacara sradha. Upacara sradha pada waktu itu yang paling terkenal adalah mendharmakan atau mencandikan para raja yang telah meninggal dunia (amoring scintya). Upacara ini dilaksanakan dengan dharma yang harinya pun telah dihitung sejak meninggalnya raja bersangkutan, dari mulau tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya sampai seribu hari bahkan tiga ribu hari. Hal ini sampai sekarang di Jawa masih berjalan, disebut dengan nyadran, yang asal katanya dari istilah sradha.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta, kecuali Tribuwana Tunggadewi, ibunda Hayam Wuruk, yang beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu, Siwa dan Buddha merupakan agama resmi Kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa Raden Wijaya ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu dharmadyaksa ring Kasaiwan dan dharmadyaksa ring Kasogatan. Kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya disebut dharmapapati atau dharmadihikarana.
Terdapat pula para agamawan yang berperan penting di lingkungan istana yang disebut tripaksa, yaitu resi-saiwa-sagata (berkelompok 3); dan catur dwija, yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-resi (berkelompok 4). Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta Siddantatapaksa, yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Pu Sindok pada abad ke-10. Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur atau Smrti; yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada zaman Pu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada zaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipengaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta, dan Samkhya. "Kenyataan Tertinggi" agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku kata suci “OM”.
Siwa, sebagai dewa tertinggi, memunyai tiga hakekat (tattwa) yaitu:
1. Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala);
2. Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala);
3. Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala).
1. Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala);
2. Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala);
3. Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala).
Selain Siwasiddhanta, dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kadiri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa; di India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata). Di samping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja Dewa Wisnu; yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai Dewa Pelindung (Istadewata).
Walau pun Nagarakretagama tidak menyebutkan keberadaan Islam, namun tampaknya ada beberapa anggota keluarga istana yang telah beragama Islam pada waktu itu.
Bangunan Suci pada Masa Majapahit
Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (patirtan, petirtaan), dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan suci ini kebanyakan dipergunakan oleh penganut Siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha. Candi yang bercorak Siwa antara lain: Candi Jago (Jajaghu), Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual seperti Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.
Status dan fungsi bangunan suci pun berbeda-beda. Berdasarkan status bangunan-bangunan suci, kita dapat kelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan yang dikelola oleh masyarakat di luar kekuasaan pemerintah pusat. Bangunan suci yang dikelola pemerintah pusat ada dua macam, yaitu:
1. Dharma dalm, atau dharma haji, yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja beserta keluarganya. Jumlah dharma haji ada 27 buah, di antaranya: Kegenengan, Kidal, Jajaghu, Pikatan, Waleri, Sukalila, dan Kumitir.
2. Dharma-lpas, yaitu bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (bhudana) pemberian raja untuk para resi Saiwa dan Sogata (Buddha), untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencarian mereka.
Sedangkan bangunan suci yang berada di luar pengelolaan pemerintah pusat kebanyakan adalah milik prasasti resi, antara lain mandala, katyagan, dan janggan. Secara umum bangunan suci nonpemerintah ini disebut patapan atau wanasrama karena letaknya terpencil. Mandala yang dikenal sebagai kadewaguruan adalah tempat pendidikan agama yang dipimpin oleh seorang siddharsi yang disebut pula dewaguru.
Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
Candi yang memunyai dua fungsi, yaitu sebagai pendarmaan raja dan keluarganya, juga sebagai kuil pemujaan dewa dengan ciri adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah arca pendarmaan (dewawimbha), misalnya Candi Jago, Pari, Rimbi, dan Simping (Sumberjati).
Candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, dengan ciri tidak memunyai garbhagrha dan arca pendarmaan/perwujudan; tubuh candi diganti dengan altar atau miniatur candi. Candi semacam ini kebanyakan dipakai oleh para resi dan terletak di lereng-lereng gunung, misalnya di lereng Gunung Penanggungan, Lawu, atau Wilis.
Sinkretisasi Siwa-Buddha
Perlakuan raja-raja Jawa yang sama terhadap dua agama yang ada, yakni Hindu-Siwa dan Buddha, cukup toleran. Ini jelas merupakan pengejawantahan kerukunan beragama dan antaragama yang dianut masyarakat Majapahit berjalan sangat baik. Hal ini memperlihatkan nilai-nilai luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada saat sekarang. Nilai-nilai luhur ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun tetap merupakan nilai-nilai positif bagi ahli-ahli warisnya.
Sinkretisasi (perpaduan) agama Siwa dengan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Raja Kretanagara, raja terakhir Singasari. Hal ini memperlihatkan tradisi masyarakat Jawa yang selalu tertarik akan perpaduan, di samping memperlihatkan sifat toleransinya yang begitu tinggi, dan mungin juga karena alasan politis, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi kekuatan Kublai Khan. Sebagai langkah mempertemukan kedua agama ini, Kertanagara membuat candi Siwa-Buddha, yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat Kota Malang.
Percampuran Siwa-Buddha pada zaman Majapahit antara lain terlihat pada cara pendarmaan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa (Raden Wijaya) yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha. Bisa pula dilihat pada raja kedua Majapahit, yaitu Jayanagara, yang didharmakan di Sila Petak sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana “Kenyataan Tertinggi” dalam agama Siwa mau pun Buddha tidak berbeda.
Kepustakaan
Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LKiS.
Muljana, Slamet. 2006. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Yogyakarta: LKiS.
Poesponogoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Muljana, Slamet. 2006. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Yogyakarta: LKiS.
Poesponogoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar