Rabu, 24 Juli 2019

Kitab Kutara Manawa Dharma Sastra

Kitab Kutara Manawa ini diilhami oleh kitab hukum yang lebih tua, yang sebelumnya pernah digunakan pada masa kerajaan Singosari. Kitab hukum di zaman Singosari tersebut terdiri dari dua buah kitab utama, yaitu Kutarasastra dan Manawasastra. Lalu, perlu diketahui pula bahwa kitab-kitab hukum yang digunakan di masa kerajaan Singosari itu pun adalah saduran dan atau pengembangan dari hukum yang pernah di terapkan pada masa kerajaan sebelumnya yaitu kerajaan Medang (Mataram kuno) dan Kalingga. Dimana hukum tersebut dikenal nama Dharmasastra.

1. Pembuktian tentang keberadaan kitab Kutara Manawa
Dalam Kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora (seorang pembesar Majapahit) dikenakan tuntutan hukuman mati berdasarkan kitab undang-undang Kutara Manawa, akibat pembunuhannya terhadap Mahisa Anabrang ketika terjadi pemberontakan Rangga Lawe. Dari uraian Kidung Sorandaka tersebut, kita pun bisa mengetahui tentang adanya kitab undang-undang yang bernama Kutara Manawa pada masa kerajaan Majapahit. Selanjutnya dalam penelitian prasasti-prasasti di zaman Majapahit, setidaknya terdapat dua prasasti yang mencatat nama kitab undang-undang Kutara Manawa ini, yaitu Prasasti Bendasari (sayang tidak bertarikh) dan Prasasti Trowulan yang berangka tahun 1358 Masehi.

Pada prasasti Bendasari yang dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Dyah Hayam Wuruk/Brawijaya III) yang termuat dalam O.J.O LXXXV pada lempengan 6a, tersebut nama perundang-undangan tersebut dalam kalimat seperti berikut ini:

“Makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda ka ring malama”
Artinya: Dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman dahulu.

Pada Prasasti Trowulan yang juga dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, maka pada lempengan III baris 5 dan 6, kedapatan juga nama kitab perundang-undangan Kutara Manawa ini, yang bunyinya seperti berikut:

” …. Ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wicecana tatpara kapwa sama-sama sakte kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ….” 
Artinya: Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kutara Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap menafsirkan kitab-kitab undang-undang seperti Kutara Manawa.

Dari uraian kedua prasasti tersebut, dapatlah kita pastikan bahwa nama kitab perundang-undangan pada zaman kerajaan Majapahit adalah Kutara Manawa. Terjemahan dari kitab ini memang pernah diterbitkan oleh Dr. J.C.G Jonker pada tahun 1885. Dan khusus pada pasal 23 dan 65 kitab undang-undang tersebut menyebut nama Kutara Manawa. Oleh karenanya dalam hal ini semakin dapat dipastikan bahwa kitab perundang-undangan di zaman kerajaan Majapahit disebut dengan Kutara Manawa.

2. Susunan dan isi kitab Kutara Manawa
Kitab hukum ini di tulis dalam bahasa Jawa kuno. Secara keseluruhan kitab Kutara Manawa ini terdiri dari 275 pasal yang lebih menitik beratkan kepada perkara-perkara hukum pidana (jenayah) disamping ada juga yang berkaitan dengan hukum perdata semacam perkawinan, mahar, jual-beli, hutang-piutang dan lain-lain. Dari penelusuran yang dilakukan, maka semua pasal-pasal itu termaktub ke dalam 19 Bab sebagai berikut:

1. Bab I : Ketentuan umum mengenai denda.
2. Bab II : Asta Dusta atau Delapan macam pembunuhan.
3. Bab III : Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula.
4. Bab IV : Asta Corah atau Delapan macam pencurian.
5. Bab V : Sahasa atau Paksaan.
6. Bab VI : Adol-atuku atau Jual-beli.
7. Bab VII : Sanda atau Gadai.
8. Bab VIII : Ahutang-apihutang atau Hutang-piutang.
9. Bab IX : Titipan.
10. Bab X : Tukon atau Mahar.
11. Bab XI : Kawarangan atau Perkawinan.
12. Bab XII : Paradara atau Mesum.
13. Bab XIII : Drewe kaliliran atau Warisan.
14. Bab XIV : Wakparusya atau Caci-maki.
15. Bab XV : Dandaparusya atau Menyakiti.
16. Bab XVI : Kagelehan atau Kelalaian.
17. Bab XVII : Atukaran atau Perkelahaian.
18. Bab XVIII : Bhumi atau Tanah.
19. Bab XIX : Duwilatek atau Fitnah.

Catatan: Dalam Bab umum dari kitab Kutara Manawa ini dinyatakan secara tegas bahwa raja yang berkuasa (sang amawa bhumi) harus teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah dalam hal penetrapannya. Jangan sampai orang yang bertingkah salah luput dari tindakan (hukuman). Itulah kewajiban raja yang berkuasa jika sungguh-sungguh mengharapkan kerahayuan negaranya.



3. Kutipan isi kitab dari Kutara Manawa
Untuk lebih jelasnya, disini akan kami sampaikan cuplikan dari beberapa pasal penting dalam kitab Kutara Manawa. Yaitu:

1. BAB II (Asta Dusta) pasal 3 dan pasal 4
Pada bab ini diuraikan tentang Asta Dustayaitu delapan macam pembunuhan, antara lain:
1. Membunuh orang yang tidak berdosa.
2. Menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa.
3. Melukai orang yang tidak berdosa.
4. Makan bersama dengan pembunuh.
5. Mengikuti jejak pembunuh.
6. Bersahabat dengan pembunuh.
7. Memberi tempat kepada pembunuh.
8. Memberi pertolongan kepada pembunuh.

Dari delapan pembunuh tersebut, maka yang nomor 1, 2 dan 3 akan di kenakan hukuman mati, sedangkan sisanya dikenakan denda uang masing-masing sebanyak dua laksa oleh raja yang berkuasa.

1) Pasal 3 menyebutkan bahwa: “Barang siapa membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa dan melukai orang yang tidak berdosa, dikenakan hukuman mati. Ketiga dusta (pembunuh) tersebut dikenal dengan istilah dusta bertaruh jiwa. Jika memang yang terbukti bersalah mengajukan permohonan hidup kepada raja yang berkuasa, ketiga-tiganya dikenakan denda uang empat laksa masing-masing sebagai syarat penghapus dosanya”

2) Pasal 4 menyebutkan bahwa: “Barang siapa makan bersama dengan pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, memberi tempat (perlindungan) kepada pembunuh serta memberi pertolongan kepada pembunuh, jika memang terbukti bersalah, akan dikenakan denda masing-masing dua laksa oleh raja yang berkuasa”. 

Catatan: Seandainya hukuman yang ada pada BAB II (Asta Dusta) ini diterapkan di negeri ini, niscaya Nusantara akan aman dan terlindungi.

2. BAB IV (Asta Corah) pasal 21, 22, 23, 55, 56, dan 57
Pada bab ini diuraikan tentang Asta Corahatau delapan pencuri, yaitu:
1. Mereka yang menjalankan pencurian.
2. Mereka yang menghasut supaya mencuri.
3. Mereka yang memberi makanan kepada seorang pencuri.
4. Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri.
5. Mereka yang bersahabat dengan seorang pencuri.
6. Mereka yang memberi petunjuk kepada seorang pencuri hingga mendapat kesempatan untuk mencuri.
7. Mereka yang menolong seorang pencuri.
8. Mereka yang menyembunyikan seorang pencuri.

“Mereka itulah yang disebut Asta Corah (delapan orang pencuri) itu, dan mudah-mudahan mereka itu dihukum oleh baginda: tetapi ayah mereka, ibu mereka, anak-anak mereka dan saudara-saudaranya yang lain tidak boleh dihukum oleh baginda, kalau mereka itu tidak ikut bersalah: hanya delapan orang yang tersebut di atas itu boleh dihukum” (pasal 21).

Hukuman-hukuman yang diberikan kepada delapan orang pencuri itu berlainan. Bagaimana cara memberikan hukuman itu dapat dilihat dalam pasal 22, 23, 55, 56, dan 57 berikut ini:

1) Pasal 22 menyebutkan bahwa: “Mereka yang mencuri dan mereka yang menghasut supaya mencuri, kalau ada bukti-buktinya, dapat dikenakan hukuman mati oleh baginda; isteri, anak pencuri itu dengan segala hak miliknya dibawa kedalam tempat tinggal baginda untuk dijual oleh baginda atau diberikan kepada orang lain; isteri dan anak mereka yang menghasut supaya mencuri, boleh tetap ditempat tinggalnya dan dikenakan denda 10.000; kalau mereka juga ikut menghasut supaya mencuri, maka mereka itu harus mati pula oleh baginda”.

2) Pasal 23 menyebutkan bahwa: “Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri juga mereka yang memberi makan kepada seorang pencuri, kalau ada bukti-buktinya, dikenakan denda 20.000 oleh baginda; isteri dan anak-anaknya tidak dikenakan hukuman; mereka yang menyembunyikan seorang pencuri atau menjaga seorang pencuri, dan mengatakan bahwa ia itu bukan pencuri, atau mereka yang menyingkirkan seorang pencuri; sedang terdapat bukti-bukti yang menyatakan bahwa orang itu pencuri, dikenakan denda 40.000 oleh baginda; mereka yang membantu pencuri, sedang tahu bahwa orang itu pencuri atau berdiam diri, sedang mereka itu telah lama bersahabat dengan orang itu, dikenakan denda 10.000 oleh baginda; kalau mereka itu menghasut pula supaya mencuri, maka mereka itu dikenakan hukuman mati pula oleh baginda”.

3) Pasal 55 menyebutkan bahwa: “Jika seorang pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati ; anak isterinya, miliknya dan tanahnya diambil alih oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri itu mempunyai hamba laki-laki dan perempuan, hamba-hamba itu tidak diambil alih oleh raja yang berkuasa, tetapi dibebaskan dari segala utangnya kepada pencuri yang bersangkutan”.

4) Pasal 56 menyebutkan bahwa: “Jika seorang pencuri mengajukan permohonan hidup, maka ia harus menebus pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang kena curi dengan mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat, demikianlah bunyi hukumnya”.

5) Pasal 57 menyebutkan bahwa: “Jika di dalam suatu desa terjadi pembunuhan atas seorang pencuri, maka barang curian, kepala pencuri, harta miliknya, anak-isterinya, supaya dihaturkan (diserahkan) kepada raja yang berkuasa. Itulah jalan yang harus ditempuh. Jika kerabat pencuri itu terbukti tidak ikut serta dalam pencurian, mereka tidak layak dikenakan denda”.

Catatan: Seandainya hukuman yang ada pada BAB IV (Asta Corah) ini diterapkan di negeri ini, niscaya Nusantara akan kaya raya dan berjaya.

3. BAB V (Sahasa), pasal 86, 87 dan 92
Pada bab ini dijelaskan tentang hukuman untuk perkara Sahasa atau paksaan dari seseorang kepada orang lain. Seperti bunyi pasal berikut ini:

1) Pasal 86: “Barang siapa mengambil milik orang tanpa hak, supaya diperingatkan bahwa barang yang diambil secara haram itu akan hilang dalam waktu enam bulan. Jika belum hilang dalam enam bulan, peringatkan bahwa barang itu akan hilang dalam waktu enam tahun. Segala modal milik orang yang mengambil barang tanpa hak itu akan turut hilang. Ingat-ingatlah akan ajaran sastra : jangan sekali-kali mengambil uang secara haram”.

2). Pasal 87: “Barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi milik orang lain, dikenakan denda dua laksa. Barang siapa merampas hamba orang lain, dendanya dua laksa. Denda itu dihaturkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala apa yang dirampas, terutama hamba, dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat”.

3) Pasal 92: “Barang siapa menebang pohon orang lain tanpa ijin pemiliknya, dikenakan denda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa; pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat”.

Catatan: Seandainya hukuman yang ada pada V (Sahasa) ini diterapkan di negeri ini, niscaya Nusantara akan makmur dan sejahtera.

Selain itu, mengenai hukum waris, maka terdapat 6 jenis anak yang mempunyai hak waris, yaitu:

1. Anak yang lahir dari penikahan pertama, ketika ibu-bapaknya masih sama sama muda dan sejak kecil telah dipertunangkan.
2. Anak yang lahir dari istri dari penikahan yang kedua kali, dan mendapat persetujuan orang tuanya.
3. Anak pemberian saudaranya.
4. Anak yang diminta dari orang lain.
5. Anak yang diperoleh dari istri akibat percampuran dengan iparnya laki laki atas persetujuan suaminya.
6. Anak buangan yang dipungut dan diakui sebagai anak.

Sedangkan anak yang tidak mempunyai hak waris antara lain:

1. Anak yang tidak diketahui siapa bapaknya, karena diperolehibunya sebelum kawin.
2. Anak campuran laki laki banyak.
3. Anak seorang istri yang diceraikan dan rujuk kembali seteah bercampur dengan laki laki lain.
4. Anak orang lain yang minta diakui anak.
5. Anak yang diperoleh karena pembelian.
6. Anak hamba yang diakui anak.

Kemudian, yang sangat menarik yaitu peraturan mengenai pemberantasan guna-guna atau tenung, yang kita sekarang sangat ganjil mendengarnya, oleh karena zaman sekarang hal semacam itu dianggap sebagai takhayul dan tidak untuk memasukkannya ke dalam suatu ayat undang-undang. Ini diuraikan dalam pasal 173. Bunyinya sebagai berikut:

“Jika orang menulis nama orang lain pada pakaian atau kain orang meninggal, atau pada kain yang berbentuk boneka, atau boneka terbuat dari tepung dan mengubur boneka itu di kuburan, atau meletakkannya di dalam pohon, di tanah yang telah dibubuhi mantera, atau pada simpangan jalan, maka orang yang demikian itu dianggap sebagai tukang sunglap yang jahat; kalau kejahatan orang yang demikian itu terbukti, maka baginda harus membunuhnya dengan semua anak cucunya dan orang tuanya; tidak seorangpun di antaranya boleh dibiarkan hidup oleh baginda, kalau baginda hendak mencapai kesejahteraan dunia; semua hak miliknya yang ada di dalam daerahnya boleh diambilnya”.

Ya. Hidup kesusilaan pada waktu itu sangat dijunjung tinggi. Hal itu berhubung dengan kepercayaan mereka, bahwa masyarakat itu adalah sebagian dari Tuhan. Maka jika kesusilaan dilanggar, bencana akan menimpa seluruh masyarakat. Oleh karena itu lihat bagaimana kerasnya tindakan-tindakan untuk memberantas perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan. Dalam hal yang demikian rupa hukuman mati sering dengan lekas diberikan. Ini dapat dilihat dalam pasal 250 yang berbunyi:

“Kalau ada orang memberi hadiah kepada orang perempuan yang sudah bersuami atau orang perempuan yang dilarang oleh kasta, atau menerimanya dari orang perempuan itu karena terdorong oleh cinta hati, tidak perduli terdiri dari apakah hadiah itu, entah bedak, bunga hiasan telinga, cincin, pisau, sepotong pakaian atau hiasan, pendek kata apa saja diberikan oleh laki-laki atau perempuan sebagai hadiah, atau jika ada orang diketemukan sedang bersenda-gurau atau ketawa dengan diam-diam dengan orang perempuan, maka itu dianggap sebagai strisanggrahana zina dan ia dikenakan hukuman mati”.

Selain itu, pemerintah pada waktu itu juga seperti pemerintah sekarang yang terus berusaha memberantas bunga (riba) yang sangat besar yang dipungut oleh kaum lintah-darat. Bunga yang boleh dipungut pada waktu itu hanya 0,5 % tiap-tiap bulan, itupun bunga yang paling tinggi.

Selain itu, karena masyarakat pada waktu itu sudah terdiri dari beberapa kasta, maka hukuman yang diberikan kepada tiap-tiap kasta pun berlainan. Perbedaan-perbedaan itu dapat lihat dari pasal 220 berikut ini:

“Kalau orang ksatriya mencaci maki orang brahmana ia dikenakan denda 2000; kalau orang waisya mencaci maki orang brahmana, ia dikenakan denda 5000; kalau orang sudra mencaci-maki orang brahmana, ia dikenakan hukuman mati; baginda harus membunuh orang yang diperhamba ini. Kalau orang brahmana mencaci-maki orang ksatriya ia dikenakan denda 1000; kalau ia mencaci-maki orang waisya dikenakan denda 500; jika orang sudra, dikenakan 250”.

Sayang sekali, bahwa kita tidak dapat mengetahui ukuran uang yang dipakai pada waktu itu. Dan denda yang paling tinggi saat itu adalah 160.000.




Terkait
Kisah Sejarah Nusantaradalam "Info Terbaru"

1 komentar:

  1. Poker online dengan presentase menang yang besar
    ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :D
    WA : +855969190856

    BalasHapus

PENEMUAN SALURAN AIR KUNO DI DESA BULUSARI - GEMPOL PASURUAN

  Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan peninjauan terkait ditemukannya situs saluran air kuno yang bermaterialka...