Senin, 21 Januari 2019

NASIB TRAGIS ARYA ADIKARA SANG RAKYAN MANTRI NUSWANTARA

NASIB TRAGIS ARYA ADIKARA SANG RAKYAN MANTRI NUSWANTARA

              Mahisa Anabrang bukan seorang yang pengecut dan takut pada kematian. Ia hanyalah seorang pimpinan pasukan yang tahu persis bagaimana strategi perang harus digelar. Dan strategi mundur hingga membuat lawan tidak berhasil menghancurkan pasukannya adalah sebagian dari kemenangan. Sebagian lagi akan ia pertaruhkan esok hari untuk benar-benar memastikan apakah pasukannya akan kalah atau menang. Sebagai pendekar yang berjabatan panglima perang, Mahisa Anabrang bisa mengukur persis bagaimana kekuatan pasukan Tuban yang saat itu berjumlah hampir 2000 orang. Sementara jumlah pasukan Majapahit hanya 500 orang. Dengan tingkat keterampilan masing-masing prajurit dari kedua belah pihak yang setara, maka faktor jumlah tentu sangat menentukan. Dalam peperangan kemarin sekitar 100 orang prajurit Majapahit tewas, sedangkan dari pihak Tuban nampaknya juga tidak jauh dari jumlah itu. Data-data kasar tersebut didapat oleh Mahisa Anabrang dari para senapati pengapitnya yaitu Gagak Sarkara dan Mayang Sekar. Terutama yang berkaitan dengan jumlah tewas dari pasukan Tuban. Adapun jumlah tewas dari pasukan Majapahit ia ikut menghitungnya secara akurat. Dengan kekuatan yang berimbang, andai peperangan terus dilanjutkan, maka sama saja dengan bertindak konyol. Pasukannya akan habis terbunuh, sementara setidak-tidaknya 1000 orang prajurit Tuban akan tetap hidup. Dan ini berarti kekalahan. Tidak, Anabrang tidak ingin kalah. Maka dengan sigap saat itu ia memerintahkan pasukannya untuk mundur sambil menyebar. Dan itu dilakukannya bukan dengan teriakan tetapi dengan kode tertentu yang telah diperintahkan kepada seluruh prajurit melalui para perwiranya. Adapun kode itu adalah manakala ia berganti menaiki kuda berwarna hitam maka pasukan harus mundur mengikuti perwiranya masing-masing. Sebagaimana lazimnya seorang senapati utama, Anabrang memiliki banyak kuda perang. Dan pada peperangan kali ini ia membawa dua ekor kuda yang salah-satunya berwarna hitam. Ketika telik sandinya menyampaikan bahwa pasukan Tuban ternyata berjumlah hampir 2000 orang, maka segera ia melakukan pengarahan singkat. Kepada Mayang Sekar dan Gagak Sarkara ia berkata : "Para prajurit Tuban itu tingkat keterampilannya setara dengan prajurit kotaraja, dan kalian pasti sudah sangat paham tentang itu. Ketika kita kalah jumlah, maka kekalahan perang pulalah yang akan jadi upahnya. Besok kita akan tetap melawan jika mereka menyerbu, tetapi jika mereka memilih untuk menunggu maka kitapun akan bertindak sama. Kalian tahu bahwa kedatangan pasukan kita ke sini hanyalah untuk membuka jalan sebelum pasukan Mahapatih Nambi datang, bukan untuk langsung bertempur. Mahapatih Nambi akan bertindak sebagai senopati utama, itu rencananya. Tetapi sangat mungkin kita akan diserbu oleh pasukan Tuban terlebih dahulu. Oleh karena itu camkan baik-baik. Bila besok mereka menyerbu dan kita terdesak maka lihatlah ke arahku, carilah aku dengan pandangan mata kalian. Bila aku berganti kuda hitam, maka mundurlah sambil berpencar ke arah bukit Surataro. Sampaikan segera pesan ini kepada seluruh prajurit!" Mayang Sekar dan Gagak Sarkara dengan cukat trengginas segera melaksanakan perintah itu. Dengan menggunakan cara pesan berantai maka perintah itu segera sampai kepada seluruh prajurit tanpa kecuali. Untung tidak dapat diraih malang tidak dapat ditolak. Tidak lama setelah itu pasukan Tuban menyerbu hingga dapat mendesak pasukan Majapahit yang kalah dari sisi jumlah itu. Maka rencanapun dijalankan. Di saat pasukannya telah mengalami banyak jatuh koran, Anabrang segera berganti menunggangi si Aswakresna.
                Malam itu Ranggalawe tidak dapat tidur nyenyak. Niatnya untuk meluluh-lantakkan pasukan Majapahit tidak sepenuhnya tercapai. Ia malah kehilangan dua orang  pendekar andalannya yaitu Ra Tati dan Ra Gelatik. Keduanya terbunuh di tangan Mahisa Anabrang. Ranggalawe telah mengingatkan pada para pendekarnya agar lebih memusatkan perhatian pada para prajurit biasa, dan menghindar dari Mahisa Anabrang. Perhitungan Ranggalawe sederhana, bila para prajurit biasa telah habis terbunuh, maka menghabisi Mahisa Anabrang adalah perkara mudah. Seperkasa apapun Anabrang, jika dikeroyok oleh banyak prajurit, maka akan habislah ia. Rupanya tidak semua pendekar bisa menahan diri untuk tidak menjajal kesaktian Anabrang. Ra Tati dan Ra Gelatik gatal tangan. Dengan penuh percaya diri mereka menghadapi Mahisa Anabrang. Dan akibatnya fatal, hanya dengan jotosan-jotosan tangan kosong keduanya mengalami remuk kepala. Anabrang bukanlah pendekar sembarangan, ia memiliki banyak kesaktian dalam hal olah kanuragan. Kulitnya tidak dapat ditembus bahkan oleh senjata pusaka yang berkaliber standar. Apalagi jika hanya oleh senjata yang tidak layak disebut pusaka. Maka di sinilah letak keapesan Ra Tati dan Ra Gelatik. Hanya dengan bermodalkan pedang yang mampu membelah batu mereka telah berani menantang Anabrang yang tubuhnya sekeras tameng waja. Bertubi-tubi pedang Ra Tati dan Ra Gelatik mencecar tubuh Anabrang, dan Anabrang hanya diam mematung seperti arca. Tidak sedikitpun tubuhnya terlukai oleh sabetan-sabetan dan tusukan-tusukan pedang dari dua pendekar Tuban yang cukup ternama itu.
                  Di saat Ra Tati dan Ra Gelatik berhenti sejenak untuk mengambil nafas, Anabrang tiba-tiba bergerak secepat anak panah. Pukulannya telak menghantam kepala dua pendekar naas itu yang langsung tewas tanpa sempat mengaduh. Itulah kekuatan aji Ragawaja yang menjadi salah-satu andalan sang senapati yang sempat menorehkan namanya dengan tinta emas ketika mampu menaklukkan Swarnabumi. Ranggalawe melihat kejadian itu hingga tubuhnya bergetar menahan marah. Namun belum sempat ia bergerak untuk menantang Anabrang tiba-tiba saja seekor kuda hitam berlari kencang. Anabrang sang pendekar dari desa Tebu itu melentingkan tubuhnya ke udara dan hinggap berdiri dengan manis di punggung si kuda hitam. Berdiri di atas punggung kuda yang sedang berlari kencang hanya dapat dilakukan oleh seorang pendekar pilih tanding yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Dan kali ini Mahisa Anabrang yang mempertontonkannya. Tidak lama setelah itu, pasukan Majapahit berpencar meninggalkan palagan. Tinggallah Ranggalawe bersama pasukannya yang masih tersisa banyak. Ranggalawe geleng-geleng kepala, kembali untuk kesekian kalinya ia mengagumi Anabrang. Dalam jagat kependekaran, Mahisa Anabrang memang setara dengan Lembu Sora, Nambi, dan Ranggalawe. Mungkin hanya Raden Wijaya saja yang bisa mengalahkannya jika terjadi pertarungan satu lawan satu. Ya, siapa yang tidak kenal pada Raden Wijaya. Seorang muda usia yang bukan hanya terampil dalam ilmu politik tapi juga memiliki kesaktian pilih tanding yang setara dengan Ken Arok dan Ranggawuni. Dalam hati Ranggalawe berkata, "Kakang Anabrang, sesungguhnya aku sangat menghormatimu seperti engkau pula sangat menghargaiku. Tapi esok akan kukejar dirimu. Mari kita buktikan kulit siapa yang lebih keras. Tapi aku akan mengejar Nambi terlebih dahulu!" Ranggalawe jauh lebih suka berperang tanding melawan Nambi dibanding melawan Anabrang. Semua itu didasari oleh dua hal utama. Yang pertama ia memang tidak suka ketika Nambi diangkat menjadi Mahapatih. Rasa tidak suka yang akhirnya membesar menjadi pemberontakan. Bahkan tanpa adanya hasutan dari Dyah Halayuda sekalipun, dirinya memang telah bertekad kuat untuk menyelamatkan negeri Majapahit, yang dinilainya akan lemah bila dipimpin oleh salah-seorang seperti Nambi. Dalam penilaian Ranggalawe, Nambi bukanlah sosok yang cocok untuk jabatan mahapatih. Ia merasa bahwa Lembu Sora atau dirinya jauh lebih pantas. Nambi dinilainya sebagai sosok yang hanya pintar bicara dan pandai mencari muka. Bahkan dalam berbagai peperangan, ia merasa lebih cakap dan perkasa dibanding Nambi.

Hasil gambar untuk sketsa perang RANGGALAWE 
                        Ranggalawe tersenyum dalam hati ketika merenungkan alasan yang kedua mengapa ia lebih suka berhadapan dengan Nambi. Ya, mengalahkan Nambi itu tentu lebih mudah dibanding mengalahkan Mahisa Anabrang. Meskipun Nambi sendiri bukanlah pendekar kelas teri, tetapi Ranggalawe sangat yakin akan mampu mengalahkannya. Kemampuan olah kanuragan Nambi, dalam pandangan Ranggalawe, tidak lebih tinggi dibanding yang dimiliki Pawagal, Juru Demung, Gajah Biru, dan Dyah Halayuda. Kini pikirannya tertuju pada sosok Mahisa Anabrang. Tidak, Ranggalawe tidak merasa takut jika harus berhadapan satu lawan satu dengan Anabrang. Ia sendiri sebenarnya tidak yakin akan mampu mengalahkan pendekar tinggi besar itu tetapi Anabrangpun belum tentu mampu mengalahkan dirinya. Ranggalawe sadar bahwa dirinya bukanlah pendekar maha sempurna yang tidak bisa terluka. Meskipun telah sembuh, tetapi rasa sakit yang luarr biasa ketika bertarung antara hidup dan mati melawan Mantri Segara Winotan seakan-akan belum hilang benar dari alam bawah sadarnya. Kokok ayam terdengar dari kejauhan ketika 2000 orang prajurit Majapahit tiba di kaki bukiturataro. Ya, mereka langsung menuju ke sana berdasarkan laporan dari utusan Mahisa Anabrang yang mencegat di tengah jalan. Kepada Nambi, Sora, dan Halayuda utusan itu menceritakan apa-apa yang telah terjadi selama peperangan hari kemarin. Termasuk perkiraan jumlah prajurit yang tewas.
                  Singkat cerita bergabunglah pasukan Mahisa Anabrang ke pasukan Nambi. Strategi peperangan segera disusun. Nambi segera memberikan pengarahan-pengarahan seperlunya. Kepandaiannya dalam berkata-kata sesungguhnya menjadi pembeda antara ia dengan Halayuda. Bila Halayuda cenderung kepada banyak bicara maka Nambi adalah sosok yang pandai bicara. Ia tahu persis kapan harus berbicara panjang lebar dan kapan cukup dengan ucapan singkat saja. Ada satu hal yang dipesankan kepada para pimpinan prajuritnya. Pesan itu singkat dan jelas bahwa jangan ada seorangpun pimpinan prajurit yang menghadapi Ranggalawe sebelum dirinya. Iapun mengingatkan bahwa sedapat mungkin Ranggalawe ditangkap hidup-hidup, jangan dibunuh. Sesuai dengan pesan Prabu Wijaya, membunuh Ranggalawe adalah jalan terakhir apabila menangkapnya hidup-hidup gagal dilakukan. Hanya ada satu orang yang benar-benar menginginkan kematian Ranggalawe. Di balik sikapnya yang supel, ramah, dan menyenangkan, diam-diam Dyah Halayuda menanam belatung kedengkian di dalam hatinya. Ia ingin semua orang yang berpengaruh di sekitar Raden Wijaya tersingkir. Setelah memberikan pengarahan seperlunya, Nambi melayangkan pandangannya ke sekitar tempat itu yang masih temaram sekedar mengandalkan cahaya bulan. Jejak-jejak pertempuran tidak terlampau nampak. Bahkan tidak ada satupun mayat yang tertinggal. Diam-diam ia kagum pada para prajurit Tuban. Tentulah mereka yang telah merapikan kembali palagan itu mengingat para prajurit Majapahit semalaman lebih memilih berlindung di balik bukit Surataro.
Matahari belum terbit ketika di daerah sekitar pinggiran sungai Tambak Beras hiruk pikuk oleh pasukan Tuban. Mereka nampak sangat siap untuk menyongsong peperangan pada hari ini. Gagarangan, Tambakbaya, Ra Lintang, Ra Tosan, dan para pimpinan prajurit lainnya sibuk memberikan atau meneruskan pengarahan-pengarahan yang baru saja diinstruksikan oleh Ranggalawe.
                   Sang adipati Tuban yang berperawakan sedang namun tegap perkasa itu nampak amat gagah dalam balutan baju perang. Duduk dengan tegap di punggung kuda kesayangannya yang bernama Nila Ambara. Kuda itu ia peroleh sebagai hadiah dari Raden Wijaya. Kisahnya adalah ketika dulu secara diam-diam ia diutus oleh ayahnya ke Sumbawa saat pembukaan hutan Tarik. Sekembalinya dari Sumbawa ia mempersembahkan puluhan ekor kuda kepada Raden Wijaya sebagai kejutan. Betapa gembiranya Raden Wijaya. Ia memilihkan seekor kuda jantan yang paling gagah, kemudian kuda itu diberikan kepada Ranggalawe.Sebelum pergi ke Sumbawa, semua orang memanggilnya sebagai Arya Adikara. Adapun sebutan Ranggalawe adalah hadiah dari Raden Wijaya  pula. Ranggalawe maknanya kurang lebih adalah seseorang yang sangat terpercaya.Usia Ranggalawe sebaya dengan Raden Wijaya dan Nambi. Di atas mereka yang pantas  disebut kakak berdasarkan usia adalah Anabrang, Juru Demung, Gajah Biru, Gajah Pagon, dan Pawagal. Adapun Halayuda, Arya Wiraraja, Pranaraja, dan Lembu Sora sudah termasuk angkatan senior. Mereka sudah malang-melintang sebelumnya di jaman pemerintahan Prabu Kertanegara, raja Singhasari yang terakhir.
                   Ranggalawe telah mendengar kabar tentang kedatangan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Nambi. Sebagai orang dalam, Ranggalawe sudah bisa memperkirakan strategi apa yang akan digunakan oleh Majapahit dalam pertempuran kali ini. Benaknya segera menangkap sosok Nambi. Hatinya membatin : "Nambi mungkin mudah kubinasakan bila bertarung satu lawan satu dalam perkelahian biasa, tetapi bila sudah dalam peperangan yang melibatkan sedemikian banyak prajurit, apa mungkin mudah bagiku? Hmmm, mengapa hatiku jadi gelisah seperti ini? Baiklah, hari ini akan kujadikan hari penentuan bagi Nambi. Aku tidak mengkhalayalkan untuk unggul dalam peperangan ini. Biarlah aku mati berkalang tanah asalkan bersama-sama dengan Nambi!"
"Kakang Lawe, dengarlah. Mereka telah meniup terompet tantangan perang. Apakah kita akan bergerak sekarang?" Tanya Ra Lintang dari jarak yang agak jauh. "Majulah kira-kira dua ratus batang tombak dari pinggiran sungai ini. Dari sana silahkan kau jawab bunyi terompet itu, Ra Lintang!" Jawab Ranggalawe sambil berteriak sehingga seluruh prajurit yang ada bisa mendengar jelas. Beberapa orang prajurit tak urung merinding mendengar teriakan Ranggalawe. Mereka tahu bahwa teriakan itu dilambari oleh aji Kilatbumi. Ajian Kilatbumi, siapa yang tidak kenal pada kesaktian andalan Ranggalawe yang satu ini. Ketika berhadapan dengan Mantri Segara Winotan, Ranggalawe menggunakan ajian ini sebagai pamungkas. Saat itu Winotan susah sekali untuk dikalahkan, bahkan Ranggalawe beberapa kali terpukul jatuh oleh ajian Guntursewu. Ketika untuk kesekiankalinya Witotan melontarkan ajian Guntursewu, Ranggalawe dengan segera memasang aji Sasrabumi. Dan dibiarkannya Witonan mengobral pukulan. Siapapun yang melihat jalannya pertarungan saat itu menjadi tercekat. Kaki-kaki Ranggalawe tertanam ke tanah hingga lutut dan tubuhnya terbanting ke kiri, kanan, depan, belakang akibat cecaran pukulan Winotan. Dari bibir Ranggalawe keluar sedikit darah segar yang menandakan bahwa ia terluka dalam.
                             Hampir saja Raden Wijaya melompat untuk menghadang pukulan Winotan ketika tiba-tiba tanah dimana Ranggalawe berdiri terbelah-belah diiringi bunyi menggemuruh. Kejadian selanjutnya sungguh-sungguh dahsyat, Ranggalawe melesat menghadang pukulan Winotan yang masih dilambari aji Guntursewu. Dan benturanpun terjadi menimbulkan bunyi menggelegar. Dua tubuh terpental jatuh. Ranggalawe tergeletak pingsan, sementara tubuh Segara Winotan hangus. Adalah Mahisa Anabrang yang saat itu mengobati dan menunggui Ranggalawe beberapa saat hingga pulih. Adapun Wijaya, Sora, Nambi, Halayuda, dan yang lainnya terus bertempur menghabiskan sisa-sisa pasukan Kediri. Dari kedua belah pihak banyak yang tidak sepenuh hati ketika saling berhadapan seperti sekarang ini. Di antara para prajurit yang sudah saling mengenal dan berhubungan baik tentu akan saling menghindar. Gelagat seperti ini sebenarnya telah ada sejak pertempuran di hari kemarin. Banyaknya prajurit yang terbunuh lebih karena amuk asor para pimpinan pasukan, bukan karena saling bunuh di antara para prajurit rendahan. Jarak kedua pasukan sekarang tinggal seratus batang tombak saja. Ra Lintang segera meniup terompet jawaban tantangan perang yang tadi dibunyikan oleh Gagak Sarkara. Maka tidak lama kemudian terdengar bunyi terompet bersahut-sahutan. Itulah tanda bahwa kedua pasukan telah siaga penuh. Reda sudah bunyi terompet yang bersahut-sahutan itu dan Ranggalawe mengangkat tangan kiri. Itu adalah tanda bahwa pasukannya tetap diam di tempat. Nambi, Lembu Sora, Mahisa Anabrang, dan para perwira muda saling beradu tatap sejenak satu sama lain. Mereka belum paham tentang apa yang dikehendaki oleh Ranggalawe. Dan jawaban itu tidak lama mereka tunggu. Sang Arya Adikara segera turun dari kudanya dan berteriak lantang, "Tunggu, aku ingin bicara sebenatr dengan kalian wahai orang-orang Majapahit!" Hanya dengan beberapa lompatan ringan saja Ranggalawe telah berdiri di hadapan Nambi. Sora dan Anabrang segera mendekat. "Nambi, aku menantangmu untuk perang tanding dan biarlah pasukan kita menonton. Mereka tidak perlu bertempur. Bila aku kalah maka bunuhlah aku, dan peperangan ini tidak perlu dilanjutkan. Tapi bila kau yang kalah, maka aku akan membunuhmu. Dan terserah kalian apakah peperangan ini akan dilanjutkan atau tidak. Bagaimana?" Tantang Ranggalawe. "Ranggalawe, Ranggalawe, tidak kepalang tanggung rupanya kau. Kematianmu mungkin sudah amat dekat, jadi silahkan keluarkan semua kesombongan yang kau punya. Ayo naiklah segera ke punggung kuda kesayanganmu itu. Aku yang akan menghajarmu!" Malah Mahisa Anabrang yang berteriak menjawab. Nambi segera berkata : "Tenangkan dirimu kakang Anabrang. Ranggalawe sampai senekat ini memang karena ingin bertempur denganku. Andai saat itu gusti prabu dan paman Sora tidak menghalangi, tentu sudah kujawab tantangannya untu berperang tanding. Ayo Lawe, bersiap-siaplah!" Nambi segera melompat turun dari punggung Brahma Cikur, kuda kebanggaannya. Tanpa berkata-kata lagi ia segera menjauh dari pasukannya. Ranggalawe mengikuti dan tidak lama kemudian keduanya telah berhadap-hadapan untuk berperang tanding. "Terimalah seranganku Nambi, hiaaaaaa......!" Cepat dan trengginas bagai burung srikatan Ranggalawe melayang menerjang Nambi. Yang dijadikan sasaran adalah ulu hati. Rupanya Ranggalawe memilih untuk tidak menggunakan jurus-jurus pembuka. Ia ingin segera menghabisi Nambi. Maka tak ayal serangannya itu menimbulkan perbawa yang tidak nyaman bahkan bagi yang berdiri jauh dari tempat mereka bertempur.Nambi seperti telah menduga apa yang akan dilakukan oleh Ranggalawe. Ia segera membentengi dirinya dengan lapisan tenaga dalam dan dihadangnya pukulan Ranggalawe menggunakan tangkisan. Baaammm, dua tangan beradu. Nambi terdorong ke belakang sementara Ranggalawe terjajar ke samping. Tapi tidak ada yang dirasakan sedikitpun oleh keduanya. Mendapati serangannya yang pertama gagal, Lawe segera memutar tubuhnya sambil melayangkan tendangan yang keras dan cepat. Sasarannya adalah kepala Nambi. Yang diserang segera merundukkan kepalanya sedikit sambil secara reflek balas menyerang. Pukulan Nambi telak mengenai dada kiri Ranggalawe. Namun anehnya kepalan tangan Nambi malah seperti melekat menempelo erat pada bidang yang dipukulnya. Sementara itu kaki Ranggalawe sebatas betis jatuh menempel di pundak kiri Nambi.
                     Lembu Sora terkesiap, Anabrang terhenyak, karena mereka tahu apa yang akan dilakukan oleh Ranggalawe selanjutnya. Nambipun tahu, tapi ia tenang-tenang saja dan malah tersenyum. Tangan kanan Ranggalawe bergerak cepat seperti gerakan membabatkan pedang ke arah kanan. Yang disasar adalah leher Nambi, sementara itu kaki kanannya yang bertumpu pada pundak Nambi ikut bergerak berlawanan arah dengan gerakan tangan kanan tadi. Gerakan Ranggalawe seperti ini sudah banyak meminta korban. Semuanya mati karena mengalami patah leher yang parah. Dan nampaknya Nambi akan mengalami hal yang sama jika saja ia hanya seorang pendekar rendahan. Sambil tetap tersenyum ia mengerahkan ajian Bayunetra. Tubuhnya seperti bersifat angin. Tangan kanannya yang tersedot oleh tenaga dalam Ranggalawe bisa lepas. Sementara itu Ranggalawe seperti memukul betisnya sendiri manakala pukulannya sampai di leher Nambi. Sungguh beruntung Ranggalawe, karena ajian Bayunetra milik Nambi hanyalah ampuh untuk menangkal serangan dan tidak bisa digunakan untuk melakukan serangan balik. Tubuh Nambi melenting ke udara dan mendarat dengan manis beberapa tombak dari Ranggalawe yang sempoyongan karena terbawa oleh dorongan tenaganya sendiri. Baru saja Ranggalawe mampu berdiri tegak, tiba-tiba saja Nambi melesat menyerangnya. Bertubi-tubi pukulan Nambi mengenai kepala, dada, dan perutnya. Kemudian serangan itu ditutup oleh tamparan ke pipi kiri dan kanan sang Adikara. Setelah itu Nambi melentingkan tubuhnya kembali ke tempat semula. Tinggallah Ranggalawe yang merah padam wajahnya. Para prajurit Majapahit bersorak-sorai riuh-rendah. Mereka mengelu-elukan Nambi dan merasa sangat terhibur. Sebagai prajurit yang mengenal ilmu kanuragan, meskipun tidak setinggi para pimpinan prajurit, mereka tahu persis bahwa Nambi sedang mengolok-olok Lawe.
                      Nambi terkesiap. Anakbuah pasukan yang dipimpinnyapun berdebar-debar tegang ketika melihat Rangga Lawe menghadang di tengah jalan. Ketegangan Nambi dan pasukan Majapahit itu bukan karena gentar berhadapan dengan pasukan Tuban yang lengkap persenjataan dan rapi pacak barisannya. Tetapi orang orang Majapahit itu terpesona melihat kewibawaan Adipati Tuban saat itu. Rangga Lawe duduk di atas punggung kuda Mega Lamat. Mengenakan busana perang serba baru. Rambut terurai lepas. Wajahnya berseri gemilang, memantulkan rasa paserah yang ikhlas. Pinggangnya menyanggul sebatang keris berhias rangkaian bunga melati, menyerbak bau harum. Yang mengherankan kesan pasukan Majapahit ialah bahwasanya Adipati Tuban itu memakai ikat pinggang kain cinde putih. Suatu hal yang bukan sari-sarinya dikenakan oleh seorang Senopatiyang tampil di medan perang"Hai, Nambi, engkau dapat menjadi patih Amangkubumi, asal engkau dapat memenuhi syaratnya!" tiba2 Rangga Lawe berseru menghardik. "Hm, katakanlah syarat itu !" sejenak menenangkan ketegangan hati, Nambi menyahut. "Mudah sekali syaratnya. Engkau harus melangkahi mayat Rangga Lawe dulu!" seru Rangga Lawe mengejek geram "namun bila engkau tak mampu memenuhi syarat itu, kepalamulah yang akan kupenggal dan kuinjak-injak sebagai keset!" Merah membara wajah patih dari Majapahit itu. Jawabnya"Cakapmu terlalu besar, Lawe! Hayo kita! buktikan, tulang siapayang lebih keras. Rangga Lawe atau Nambi!" "Aku gembira melihat keksatryaanmu!" Rangga Lawe segera gerakkan kuda Mega Lamat berputar-putar melingkarilawan. Nambi takkan mau tinggal diam. Berbahaya apabila dibiarkan saja Lawe mengitari dirinya. Setiap saat dirinya dapatditombak Lawe. lapun mainkan kudanya Brahma Cikur untuk mengimbangi gerak lawan. Demikian kedua kawan lama, saat itu saling berhadapan sebagai musuh. Memang suatu peristiwa yang cukup menyedihkan. Bahwa dua orang kadehan dari raden Wijaya yang selama bertahun-tahun bahu membahu dalam perjuangan, pada saat itu saling serang menyerang, tikam menikam.
              Betapapun juga, Rangga Lawe memang lebih tangkas dan berpengalaman dalam pertempuran. Setelah berhasil memikat lawan supaya menusuk, tiba2 Rangga Lawe menarik kendali sekerasnya. Mega Lamat dapat menangkap maksud tuannya. Kuda itu menyurut mundur lalu secepat kilat berputar kebelakang lawan dan maju merapat. "Selamat jalan, Nambi!" serentak Rangga Lawe tusukkan tombak ke lambung Nambi. Ia yakin Nambi tentu berhamburan ususnya. Tetapi Nambipun cukup waspada. Walaupun ia terkejut karena takmenduga Rangga Lawe melakukan siasat penyusupan yang amat cepat, namun ia tak sampai kehilangan daya untuk menghindar. Cepat ia cepitkan kedua kakinya ke perut Brahma Cikur. Kuda itu tahu perintah. Dengan sekuat tenaga, binatangitu loncat ke muka. Tetapi ternyata masih kalah cepat dengan tombak Rangga Lawe. Cret.....!! ujung tombak menyusup ke pinggul Brahma Cikur, tembuskeluar dari pinggul sebelah kanan. Brahma Cikur rubuh bagaipohon ditebang. Karena sedang loncat ke muka tetapi tiba2 rubuh, Nambi kehilangan keseimbangan diri. Ia seperti didorong lalu dilempar ke tanah. Untunglah patih Majapahit itu tak menderita luka parah kecualisedikit pening dan senjatanya terlepas. Serentak ia melenting bangun. Tetapi pada saat itu pula, Rangga Lawepun sudah menerjang dengan menyongsongkan ujung tombak. Dalam gugup karena tak bersenjata, Nambi teringat akan peristiwa raden Wijaya dikala hendah ditangkap Kebo Mundarang patih dari Daha dahulu. Raden Wijaya menjejak pematang sawah. Tanah muncrattepat mengenai muka Kebo Mundarang. Nambi akan mengulang cara itu. Serentak ia membungkuk, merangkum segenggam pasir lalu ditaburkan ke arah Rangga Lawe. "Uh ...." Rangga Lawe terkejut seraya mengusap matanya yang tertabur pasir "hai, jahanam, hendak lari kemana engkau!" sesaat matanya dapat memandang, ia terus hendak menyerang. Tetapi ternyata Nambi sudah menghilang. Nambi memang meloloskan diri lalu bersama pasukannya mundur melintasi sungai Tambak Beras, kembali masuk kewilayah Majapahit pula. Rangga Lawe hendak mengejar tetapi dicegah oleh para pengikutnya. Daerah diseberang masuk wilayah Majapahit, berbahaya. Apalagi kekuatan Majapahit belum seluruhnya dikeluarkan. Rangga Lawe menurut. Raja Kertarajasa menerima laporan hasil kemenangan pasukan yang dipimpin Nambi atas para pengikut Lawe yang hendak menggabungkan diri ke Tuban. Tetapi serempak pada saat itu pula, lurah prajurit Hangsa Terik menghadap dan mempersembahkan laporan bahwa pasukan Nambi yang bergerak menuju ke Tuban itu telah diobrak-abrik Rangga Lawe. Kini anakbuah pasukan Majapahit tercerai berai lari mengungsi dan bersembunyi di desa2. Mereka takut dikejar pasukan Tuban. Baginda murka sekali. Serentak menitahkan supaya mempersiapkan pasukan besar untuk menggempur Tuban.Lembu Sora dan Kebo Anabrang mencegah. Pasukan Majapahit masih lelah, sukar menghadapi serangan pasukan Tuban. Tetapi baginda Kertarajasa rupanya sudah tak dapat dicegah lagi. Ia memutuskan "Apabila Lawe tak dapat dibasmi, pura Majapahit lebih baik kubakar jadi karang abang!" Lembu Sora dan Kebo Anabrang tak berani menentang kemurkaan baginda. Baginda segera menitahkan beberapa perwira, Kala Angerak, Setan Kobar, Buta Angasak dan Juru Prakosa untuk berangkat mencari pasukan Majapahit yangdipimpin Nambi itu. Keempat nayaka gagah itu ditugaskan untuk menghimpun dan menyusun kembali kekuatan pasukan Majapahit yang porak poranda itu. Serta diperintahkansupaya menyelidiki kekuatan Tuban.
                 Setelah mereka berangkat, sangprabupun siapkan sepuluh ribu prajurit, dipimpinnya sendiri menuju ke Tuban. Tiba di padangWirakrama, sang prabu mendapat laporan dari sandi telik yang habis menyusup ke daerah musuh. Bahwa Tuban telah siap untuk melanjutkan peperangan. Pasukan Majapahit yang dipimpin Nambi tercerai berai sembuyi di desa2. Tak berapa lama, pasukan Tuban yang dipimpin Rangga Lawe muncul hendak menggempur balabantuan yang dipimpin baginda. Rangga Lawe mengendarai kuda Nila Ambar. Baginda termangu. Beliau menyadari betapa banyak korban yang akan jatuh dalam pertempuran itu nanti. Melihat sang prabu gelisah, resah. LembuSora segera mohon idin untuk maju menyambut Rangga Lawe. Baginda memberi idin. Rangga Lawe segera dikepung dari tiga jurusan. Kebo Amibrang dari jurusan timur. Gagak Sarkara dari barat dan Mayang Mekar dari utara. Namun Adipati Tuban itu sedikitpun tak gentar. Diantara ketiga senopati Majapahit itu, ia memilih lawan Kebo Anabrang Ia hendak melampiaskan dendam kepada Kebo Anabrang yang tempo hari berani menantangnya. Maka berhadapanlah kedua senopati digdaya itu. "Lawe, menyerahlah. Mungkin baginda berkenan melimpahkan ampun kepadamu. Tetapi kalau engkau tetap membangkang, mayatmu pasti tak berkubur tanah!" seru Kebo Anabrang."Jangan bermulut besar, Kebo Anabrang!" sahut Rangga Lawe"di sini bukan tanah Melayu di mana engkau dapat mempamerkan kesaktianmu! Bukan pula pura Majapahit di mana engkau dapat mengangakan mulut selebar-lebarnya! Tetapi yang engkau pijak ini adalah bumi Tuban, tanah yang akan menjadi alas kuburmu!" Kebo Anabrang hendak menjawab tetapi tak sempat lagi karena Rangga Lawesudah menerjang dengan tombaklurus tertuju ke dadanya. Senopati Pamalayu itu cepat anjakkan kudanya kesamping lalumenangkis dengan trisula, tring .. . terdengar dering menggerincing dahsyat disertai hamburan bunga api. Rangga Lawe dan Kebo Anabrang sama2 terbeliak. Namun sesungguhnya, Rangga Lawe lebih kuat. Dia hanya tergetar tangannya dan mukanya merah sejenak lalu tenang kembali.
                   Kebo Anabrang rasakan sekujur lengan sampai ke bahu bergetar keras dan melinu sampai ke ulu hati. Wajahnya merah padam sampai beberapa saat. Cepat sekali Rangga Lawe sudah menyerang pula. Tombak dimainkan makin keras. Ujung tombaknya laksana ular memagut-magut ke tubuh lawan.Mencari dan, menyusup lubang pertahanan Kebo Anabrang. Diam2 senopati Pamalayu itu harus mengakui kegagahan lawan. Tiada lain jalan kecuali saat itu ia harus membentuk penjagaan diri yang ketat. Setelah tenaga lawan menurun, barulah ia akan mengadakan serangan balasan. Namun yang diharapkan Kebo Anabrang itu tak kunjung tiba.
                Makin lama Rangga Lawe bahkanmakin perkasa. Serangannya bertambah gencar. Bahkan dalamsebuah kesempatan, sekonyong-konyong Rangga Lawe melancarkan siasat yang tak terduga-duga. Adipati Tuban itu ayunkan ujung tombak mengarah tenggorokan lawan. Pada saat Kebo Anabrang gentakkan tombak untuk menyiak ke atas, tiba2 ia mengeluh kaget "Celaka aku tertipu ... " Tombaknya menyiak angin karena ujung tombak lawan tiba2 lenyap. "Matilah engkau, Kebo!" teriak Rangga Lawe seraya menombak perut lawan. Crek, tring.... Rangga Laweterperanjat karena ujung tombaknya menusuk benda keras di perut lawan. Cepat ia menyadari bahwa benda keras itu tentulah sabuk pending yang kepalanya terbuat dari pada logam keras. Berkat kepala ikat pinggang itu maka terhindarlah Kebo Anabrang dari kebinasaan yang ngeri. Kebo Anabrang terkejut. Rasa nyeri pada perutnya, mengalirkan keringat dingin. Secepat mengetahui apa yang terjadi, secepat itu pula ia hantamkan pangkal tombaknya pada tombak lawan, tring . . . Rangga Lawe gemar berkelahi. Dalam setiap pertempuran dengan musuh di medan perang, ia selalu mengingat2 tata- kelahiyang diunjuk lawan. Diambil gerak-gerakannya yang baik untuk memperkaya kepandaiannya bertempur. Demikian pada saat itu teringatlah ia akan gaya berkelahi dari seorang perwira Tartar yang diternpurnya dahulu. Hampir saja ia celaka, apabila pada waktu itu ia tak cepat loncat menghindar. Kini siasat yang dimainkan perwira prajurit Tartar itu, hendak ia cobakan pada Kebo Anabrang.
               Pada saat Kebo Anabrang menghantamkan pangkal tombaknya, sengaja Rangga lepaskan tombaknya lalu mencabut pedang dan secepat kilat ia menikam paha lawan. Kebo Anabrang benar2 terkejut sekali. Untuk yang keduakali, ia menyadari bahwa ia termakan tipu siasat lawan. Namun kali ini ia tak sempat menangkis maupunmenghindar lagi. Dalam keadaan yang tak berdaya ia masih berusaha untuk beranjak kemuka. Crek....serempak dengansakit akibat sekelumit daging pahanya terkupas, terdengarlahkudanya meringkik keras dan roboh. Kuda itu mati tertikam Ranggu Lawe. Untunglah luka di paha Kebo Anabrang itu hanya kecil. Secepat terlempar ketanah, iapun segera melonjak bangun lalu loncatkan kudanya kemuka sehingga bebas dari tikaman lawan. Kemudian ia memutar kuda Nila Ambara kearah Kebo Anabrang lalu menerjang. Anak prajurit dari pasukan Kebo Anabrang terkejutsekali ketika melihat senopatinyaterjungkal dari kudanya yang tertikam mati oleh lawan. Dan lebih kaget pula tatkala melihat Rangga Lawe hendak menyeranglagi. Karena jaraknya jauh, mereka tak sempat lagi untuk menyelamatkan senopatinya. Satu-satunya jalan yang dapat menolong Kebo Anabrang, hanyalah menghujani anakpanah pada Adipati Tuban. "Pengecut kamu Kebo Anabrang! Keparat kamu, hai orang Majapahit!" Rangga Lawe mendamprat seraya putar pedang untuk menghalau anakpanah yang berhamburan sederas hujan mencurah. Perut Nila Ambar dicepit kencang2. Kuda itu beranjak ke atas lalu loncat membawa tuannya kabur. Rangga Lawe menyadari bahwa jika tak lekas meloloskan diri, ia tentu akan rubuh berhias panahseribu. Bila Rangga Lawe kembali ke dalam pasukannya dengan disambut gembira dan dielu-elu oleh anakbuah pasukan Tuban. Adalah Kebo Anabrang yang termenung masygul dalam pesanggrahan pasukan Majapahit. Senopati Pamalayu itukecewa, malu, geram dan marah atas kekalahan yang dideritanyahari itu. Ia malu menghadap raja Kertarajasa. Tekadnya, sebelum membawa batang kepala Adipati Lawe, ia tak mau menghadap baginda. Dan apabila gagal mengalahkan Lawe, lebih baik ia bunuh diri. Malam itu ia tak dapat tidur. Dan keluarlah ia daripesanggrahan, berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai Tambak Beras.
                       Tiba tiba ia teringat akan pesan mendiang gurunya. Bahwa apabila menghadapi persoalan yang sulit, supaya ber-sidhikara atau bersemedhi memohon berkah kepada Dewata. Serentak timbullah hasratnya untuk melaksanakan pesan gurunya itu. Ia mencari sebuah tempat, di bawah sebuah batu besar yang terletak di tepi sungai. Mulailah ia bersemedhi. Mengheningkan cipta, menghampakan pikiran, menunggalkan jiwa dan keAku-an, mengembara ke alam sonya runyi, laksana musafir mencari air dingin. Entah berapa lama ia terbenam dalam alam kehampaanyang luas bebas tiada ujung pangkal itu, tiba tiba ia terkejut melihat secercah benda putih yang bersinar dan bergerak menghampiri. Makin dekat, benda bersinar itu makin besar dan akhirnya pecah berhamburan berobah menjadi sesosok tubuh seorang kakek tua yang rambut, janggut, alis dan pakaiannya serba putih semua. "Siapa engkau, eyang . . .!" teriak Kebo Anabrang dalam nada suara dari alam bawah sadar. Kakek berpakaian putih itu menatapnya "Aku adalah AKU dalam ciptamu. Namaku pun dalam alam ciptaanmu. Sudahlah, apa yang engkau kehendaki?" Dalam keadaan sadar-tak-sadar dicengkam alam bawah sadarnya,Kebo Anabrang tak dapat meraihmakna ucapan orangtua aneh itu. Kecuali pertanyaannya. Maka menjawablah ia "Eyang, hamba mohon petunjuk dalam peperangan ini" "Maksudmu untuk mengalahkan Rangga Lawe?" Kebo Anabrang rnengiakan. "Ah, permohonanmu terlampau jauh jangkauannya. Itu melanggar garis pantangan Hyang Widdhi bila engkau memaksa ingin mengetahui tabir rahasia Kodrat alam. Engkau mendahului kehendak Yang Menciptakan Jagad!" "Tetapi eyang, memang demikianlah suratan hidup hamba. Sebagai senopati perang, hamba harus dapat mengalahkan musuh. Hamba tak sampai hati melihat darah ribuan prajurit Majapahit mengalir ke sungai Tambak Berasini" "Usahakan segenap kekuatandan kesaktianmu sebagai seorang senopati"
                     Tetapi eyang, musuh terlampau kuat. Maka hamba terpaksa mohon petunjuk eyang ...""Engkau tetap berkeras hendak melanggar pantangan Kodrat? Ada siku dendanya, angger""Walaupun hancur binasa, hamba tetap rela. Asal Rangga Lawe lenyap dari bumi!" Terdengar suara helaan napas halus"Baiklah, insan mayapada diberi kebebasan berbuat menurut sekehendak hatinya karena setiap gerak perbuatan itu sudah mengandung Karma. Eyangakan memberi petunjuk kepadamu. Lihatlah kuku ibu jarimu. Engkau tentu melihat jelas apa yang harus engkau lakukan!" Tergopoh Kebo Anabrang melakukan perintah."Bagaimana, sudah jelas ?" "Ya, eyang ...." "Tetapi ingatlah Kebo Anabrang! Barang siapa berhutang, harus membayar!""Hamba rela menebus dengan jiwa. Terima kasih, eyang .... hai!" tiba2 Kebo Anabrang tersentak bangun dari persemedhiannya. Orangtua serba putih itu sudah lenyap. Dan serempak itu terdengarlah ayam hutan berkokok dari hutan ke jauhan. Cuacapun tampak memburat merah. Kebo Anabrang segera kembali ke pasanggrahan pasukannya. Hanya beberapa waktu ia beristirahat, fajarpun sudah tiba. Ia menyuruh seorangprajurit untuk menyampaikan surat kepada Lembu Sora, Kemudian ia lolos dari pasanggrahan menuju ke tepi sungai Tambak Beras. Kebo Anabrang dengan kudanya melintasi sungai Tambak Beras lalu membenam diri dalam air untuk menyegarkan badannya yang lesu. Ia mempersiapkan diri untuk mencegat Rangga Lawe. Iahendak membalas kekalahan yang diderita kemarin. Rupanya gerak gerik Kebo Anabrang itu dapat diketahui oleh mata2 Tuban yang bertugas di penyeberangan sungai. Cepat ia melapor pada Adipati Tuban. Seketika loncatlah Rangga Lawe kepunggung kuda dan mencongklang ke sungai Tambak Beras. Demi melihat Kebo Anabrang sedang membenam diridalam air bersama kudanya, Rangga Lawe serentak lompatkan kudanya menerjang. Pertarungan sengit antara kedua seteru itu berlangsung amat dahsyat sekali. Akhirnya Rangga Lawe mati lemas karena tak tahan dipiting dan dibenamkan dalam air sampai sekian lama . . . . ! Kedatangan Lembu Sora menyusul ke sungai Tambak Beras itu karena kuatir Kebo Anabrang kalah. Dan ketikaKebo Anabrang serta Rangga Lawe tenggelam ke dalam sungaisampai beberapa lama tak muncul, Lembu Sbrapun bergegasmenghampiri ke tepi sungai. Ia hendak memberi pertolongan apabila Kebo Anabrang sampai celaka. Tetapi demi melihat Rangga Lawe kalah dan binasa secara begitu mengerikan sekali,bergolaklah darah Lembu Sora seketika. Ia anggap Kebo Anabrang keliwat ganas menganiaya Rangga Lawe.
                 Seperti pudar alam kesadaran pikiran dan pertimbangannya bahwa Kebo Anabrang itu adalah kawan yang sama2 mengemban tugas dari raja untuk menumpas Rangga Lawe, Lembu Sora serasa terbakar hangus oleh apikemarahan. Rangga Lawe itu adalah anak kemanakannya. Ia tak merelakan kemanakannya disiksa begitu kejam oleh Kebo Anabrang. Dan seperti didorong oleh sesuatu kekuatan ajaib, Lembu Sora serentak loncat ke dalam sungai tempat kedua orang itu bertempur seraya mencabut pedang. Kebo Anabrang tak tahu bahwa LembuSora telah datang ke sungai menyusulnya. Dan secara kebetulan pula, ketika menyembul kepermukaan air itu, ia menghadap ke arah membelakangi tempat Lembu Sora. Pula karena habis bergulatmati-matian dengan Rangga Lawe sampai sekian lama. dalam air, napasnyapun ter-engah2. Pandang matanyapun masih kabur nanar. Cret. .. Ia rasakan punggungnya tertusuk senjata tajam. Karena sakit sekali, ia hendak menjerit. Tetapi ternyata tak sempat lagi. Sebelum membuka mulut, ujung senjata itu telah menembus keluar dari dadanya dan rubuhlah ia bersama Rangga Lawe ke dalam air lagi. Seluruh permukaan sungai Tambak Beras berwarna merah karena darah kedua senopati yang mati sampyuh. Kebo Anabrang mati karena terkena sumpah yang telah diperingatkan oleh Atma gaib yang dalam cipta, persemedhiannya berupa seorang kakek tua berambut dan berpakaian serba putih. Setiap hutang harus dibayar. Hutang jiwa, bayar jiwa.

        
                                Ilustrasi perang Ranggalawe Vs Mahesa Anabrang

            Rangga Lawe mati karena membela suatu pendirian yang dianggapnya benar. Demi pengabdiannya kepada raja. Dan sungai Tambak Beraslah yang mendapat kehormatan menampung jenazah kedua putera terbaik dari Majapahit. Jenazah Rangga Lawe diangkut ke pura Majapahit, Adipati Wiraraja yang diberitahukan, lalubersama Kiageng Palandongan, kedua isteri Rangga Lawe serta puteranya Kuda Anjampiani, segera bergegas menuju ke Majapahit. Setelah Mertaraga dan Tirtawati melakukan upacara belapati terjun dalam kancah api atau mati obong, maka Wiraraja dan Kiageng Palandonganpun kembali lagi ke Tuban. Sesuai dengan pesan Rangga Lawe maka Kuda Anjampiani diserahkan kepada eyangnya, Kiageng Palandonga.

                             by Setya Manggala Majapahit
                             Sketsa Agus Subandriyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENEMUAN SALURAN AIR KUNO DI DESA BULUSARI - GEMPOL PASURUAN

  Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan peninjauan terkait ditemukannya situs saluran air kuno yang bermaterialka...