Rabu, 31 Juli 2019

Bendungan Waringin Sapta

Bendungan Waringin Sapta

Kerajaan Mataram Kuno merupakansalah satu kerajaan Hindu yang ada di Jawa pada abad ke-8, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno ini bermula sejak pemerintahan Raja Sanjaya yangmempunyai gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kerajaan Mataram Kuno diperintahnya hingga  732M. Pada abad ke-8 yaitu awal berdirinya kerajaan Mataram Kuno, kerajaan ini berpusat di Jawa Tengah. Kemudian pada abad ke-10 pusat kerajaan Mataram Kuno ini pindah ke Jawa Timur. Dan kerajaan ini mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbeda, yaitu agama Hindu dan Buddha.

Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya, dan Sailendra. Pendiri dari wangsa Sanjaya ini sendiri adalah Raja Sanjaya, yang menggantikan Raja sebelumnya yaitu Raja Sanna. Hingga pada akhirnya ketika Raja Sanjaya wafat, kekuasaan kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, yakni pendiri wangsa Sailendra. Banyak terjadi konflik pada masa kekuasaan Dapunta Sailendra. Hingga akhirnya pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah.
Kerajaan Mataram di Jawa Timur pada abad ke-10, setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Mpu Sindok, yakni cucu dari Sri Maharaja Daksa, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh, yaitu wilayah antara Gunung Semeru dan Gunung Wilis, Jawa timur. Kerajaan yang didirikan Mpu Sindok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Airlangga mulai memulai ekspedisi-ekspedisinya di Jawa pada tahun 1028-1029 M dengan maksud menaklukkan kembali kerajaannya yang terbagi antara beberapa pesaing. Dimulai dengan penyerangan Bhismaprabhawa, yakni seorang putra raja.
 Airlangga dalam prasati Pucangan merupakan menantu dari Darmawangsa Teguh. Berarti dia bukanlah keturunan Mpu Sendok pendiri Dinasti Isana secara langsung. Hal itu yang membuat raja-raja bawahan Darmawangsa Teguh yang dulu tidak patuh lagi pada maharaja. Maka sebagian besar masa pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan menaklukan raja-raja bawahan. Dalam prasasti pucangan dijelaskan bahwa Airlangga menaklukan beberapa penyerangan yaitu:
1.    Menyerang ke Wuratan dan mengalahkan raja Wisnu Prrabhawa (pada bulan Phalguna tahun 951 Saka/15 Februari 1030 M).
2.    Mengalahkan Haji Wengker yang bernama Panuda dan menaklukan kerajaannya pada tahun 953 Saka/1031 M, tapi Haji Wengker dapat melarikan diri dan melakukan pemberontakan pada tahun 957 M. Pemberontakan itu dapat di atasi dan Tahun 959 Saka Haji Wengker dapat ditangkap di Kapang.
3.    Menaklukan raja Hasin pada tahun 952 Saka (28 April 1030 M) hal ini tertuang dalam prasasti Pucangan.
4.    Pada tahun 954 Saka (1032 M) Darmawangsa Airlangga menyerang raja Wurawari dan akhirnya raja Wurawari dapat dikalahkan. Dengan dikalahkannya raja Wurawari maka lenyaplah perusuh diseluruh tanah Jawa.

Pada tahun 1029, Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wishnupraba dari Waratan. Lalu pada tahun 1030 ia juga menaklukan Raja Bhismaprabhawa dari Wengker. Akhirnya pada tahun 1032-1033, Airlangga berhasil membalas kematian mertuanya dengan mengalahkan Raja Wurawari. Dengan demikian Airlangga berhasil mempersatukan kerajaan warisan Dharmawangsa yang terpecah belah dan sejak itu ia mulai membangun negerinya. Airlangga mengangkat Narottama sebagai penasehat dan pembantu kerajaan dan diberi gelar Rakryan Kanuruhan. Ibu kota Medang Kamulan lalu dipindahkan ke Kahuripan. Airlangga juga memperhatikan kehidupan rakyat agar makmur dan sejahtera. Usahanya antara lain, membuat bendungan sungai Brantas di Waringin Sapta. Peristiwa tersebut ditandai dengan pembuatan Prasasti Kamalagyan. Bendungan ini dibuat karena sungai Brantas sering meluap sehingga banyak desa-desa di hilir yang kebanjiran. Hal itu membuat rakyat menderita dan membawa kerugian yang tidak sedikit. Jika banjir terjadi, sawah dan kebun rusak sehingga hasil panen amat berkurang, akibatnya pajak yang masuk ke kas kerajaan pun menipis.

Dengan pembuatan bendungan di Waringin Sapta, aliran Sungai Brantas dapat dikendalikan. Hal itu bukan hanya membuat irigasi menjadi lebih baik, melainkan lalu lintas di sungai Brantas pun menjadi lebih ramai. Banyak pedagang dari luar daerah yang dapat berlayar ke arah pedalaman dan sampai di tempat berlabuh yang bernama Hujung Galuh. Raja Airlangga membebaskan rakyat sekitar bendungan dari pajak, tetapi sebagai gantinya mereka harus menjaga bendungan itu. Untuk membangun negara yang kuat, rakyat harus sejahtera. Untuk itu aliri sawah, jaga rakyat dari bencana air maupun lumpur. Airlangga mewujudkannya dan mewariskan kepada kita sebagai kearifan memimpin negara. Setelah bendungan selesai dibuat aliran sungai dipecah menjadi 3 arah utara. Selain itu raja juga membangun pertapaan atau tempat suci di gunung Pugawat di daerah Ngimbang dan merupakan desa Turun Hyang sebagai Sima. Pada masa Airlangga ada seorang pujangga yang berhasil mengubah kitab Mahabrata menjadi Arjunawiwaha. Pujangga itu bernama Mpu Kanwa (Tahun 939 Saka).
Banjir dalam prasasti Kamalagyan disebutkan terjadi berkali-kali. Maksudnya adalah banjir tersebut terjadi setiap tahun atau setiap musim hujan. Didalam prasasti tertulis bahwa banjir tersebut memusnahkan tempat suci dan wilayah desa termasuk juga sawah. Dalam artian bahwa banjir tersebut benar-benar besar, hingga kemungkinan merusak lahan pertanian Jawa Kuna. Disebutkan pula sejumlah yang mengalam banjir yaitu Kala, Kalagyan, ThaniJhumput, Wihara Cala, kamulan, dan prapatan. Sumber banjir itu adalah meluapnya Sungai (Bengawan). Sungai Brantas merupakan salah satu sungai di Jawa Timur yang sistem setiap tahun menimbulkan ancaman bagi para petani karena selalu meluap pada musim hujan.
Melihat dari prasasti tersebut, prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada saat pembangunan Bendungan, yang dibangun untuk menanggulangi banjir. Dalam hal ini bendungan yang dibangun adalah bendungan di daerah Waringin Sapta aliran cabang dari sungai bengawan atau sungai Brantas. Pembangunan bendungan dilakukan unuk menanggulangi banjir yang sering terjadi dan menghancurkan tanggul yang telah ada, sehingga banyak sawah yang rusak dan sungai tidak dapat dilewati perahu para pedagang. Faktor penyebab banjir di wilayah Waringin Sapta disamping hujan yang cukup deras, juga karena peran sungai terhadap material gunung berapi. Material gunung berapi yang keluar akibat letusan gunung berapi yang ada disekitar aliran sungai Brantas, (misalnya gunung Wilis, gunung Welirang, Gunung Kelud, dan gunung Anjasmoro) yang terendap oleh media sungai Brantas.
Dari prasasti kamalagyan juga dapat diketahui, bahwa banjir di Waringin Sapta telah sering ditanggulangi dengan pembuatan bendungan oleh masyarakat sekitar. Namun tidak juga berhasil diatasi, bendungan yang dibuat ikut hancur diterjang banjir. Melihat permasalahan yang tidak juga selesai dan sangat merugikan, maka Raja Airlangga berkenan turun tangan menangani bencana tersebut. Penanganan yang dilakukan oleh Raja Airlangga adalah pembuatan bendungan untuk memperbaiki tanggul yang selalu rusak. Pada intinya prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga untuk memperingati pembangunan bendungan di Waringin Sapta. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang setiap tahun datang dan merusak tangguk yang telah ada, serta banyak merusak sawah, bangunan suci serta mengacaukan perdagangan.
Pembangunan bendungan ini dapat disimpulkan  bahwa pada masa Jawa Kuna sudah dikenal sistem pengelolaan air. Usaha-usaha untuk mengelola air, tampaknya menjadi pusat perhatian dari penguasa-penguasa kerajaan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menyebutkan tentang pengelolaan air. Dan dapat diketahui strategi penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna abad V sampai abad XI Masehi. Adapun strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir adalah sebagai berikut:
1.    Pembuatan aliran sungai yang dialirkan ke laut. Air yang melimpah dapat mengalir kelaut sehingga terhindar dari bahaya banjir.
2.    Pembuatan bendungan. Air sungai yang meluap dapat tertahan oleh bendungan sehingga air tidak menggenangi sawah maupun pemukiman penduduk. Air sungai tersebut kemudian dialirkan ke sawah-sawah melalui jaringan irigasi.

Dalam masa Airlangga peperangan demi peperangan dijalaninya untuk membangun sebuah kerajaan. Satu persatu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukannya. Namun pada tahun 1032 Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa yang pada akhirnya juga dapat ditaklukannya. Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan di daerah Sidoarjo sekarang ini. Musuh wanita dapat dikalahkan, bahkan kemudian Raja Wurawari pun dapat dihancurkan pula. Saat itu wilayah kerajaan mencakup hampir sekuruh wilayah Jawa Timur. Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang lazim dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang sebenarnya Cuma nama ibu kota, lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Kertanagara. Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha, berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon Arang.
Pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya. Calon rja yang sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, memilih menjadi pertapa dari pada naik takhta. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu begian barat bernama Kadiri beribu kota Daha, diserahkan kepada Sri Samawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa .

Senin, 29 Juli 2019

Analisa Candi Kagenengan

   Linira sang Amurwabhumi i saka 1169. Sira dhinarmeng Kagenengan.” (Padmapuspita, 1966:24).  Waktu meninggalnya sang Amurwabhumi pada tahun Saka 1169. Beliau dicandikan di Kagenengan." ( Uraian Pararaton ) .
      ring saka syabdhi rudra krama kalahaniran mantuking swargga loka, kyating rat sang dhinarmma dwaya ri kagenengan sewa bhoddhengusana.”
Artinya: “... pada tahun saka Asyabdhirudra-1149 (1227 Masehi) Baginda berpulang ke alam baka (Siwa Loka), tersohor di dunia Baginda diabadikan di Candi Kagenengan berwujud Siwa Buddha sejak dahulu." (Riana, 2009:207).
          Nagarakretagama menguraikan cukup detail mengenai tentang tempat pen-dharma-an Sri Rajasa sebagai cikal bakal atau pendiri Dinasti Rajasa. Uraian tersebut merupakan hasil pengamatan langsung Prapanca yang menyertai Raja Hayam Wuruk ketika tour de inspection di Kagenengan pada 1359 Masehi. Kemudian, Prapanca menggambarkan tempat tersebut pada Pupuh XXXVI dan XXXVII dalam Negarakretagamasebagai berikut:

Pupuh XXXVI:

1. Pada subhakala Baginda berangkat ke selatan menuju Kagenengan, akan berbakti di pen-dharma-an bhatara bersama segala pengiringnya, harta alat, dan makanan mengiringkan bunga beserta upacara indah didahului kibaran bendera terdukung ramai orang menonton.
2. Setelah penyekaran, narapati keluar dikerumuni rakyat menghadap, para pendeta Siwa-Buddha, dan bangsawan dekat berderet di sisi beliau, tidak berkata waktu baginda bersantap menurut nafsu kehendak hati, seadanya rakyat dianugrahi kain-kain yang meresapkan pandangan.
Replika Kitab Negarakertagama

Pupuh XXXVII:

1. Tersebut keindahan candi makam wujudnya tiada bertara pintu gerbangnya terlampau indah lagi tinggi bersabuk dari luar, di dalam terbentang halaman dengan balai berderet di tepinya, penuh segala macam bunga tanjung (mimusops elengi) nagasari indah dan ajaib.
2. Menara menjulang tinggi di tengah-tengah terlampau indah, seperti Gunung Meru tempat Siwa dengan Arca Siwa di dalamnya, layak karna putra Girinatha dipandang raja dewa menjelma, trah leluhur Sri Naranata yang disembah diseluruh dunia.
3. Sebelah selatan pen-dharma-an ada tempat suci yang terbengkalai, tembok dan pintu gerbangnya tinggi kiranya tempat suci kebudaan, di dalamnya ada lantai kakinya barat telah hilang tinggal yang timur hanya sanggar dan pamujaan yang utuh, temboknya tinggi dari bata merah.
4. Di sebelah utara tanah dan kaki balai telah merata, terpencar tanamannya nagapuspa, merah halamannya waktu bertunas berbunga, di luar pintu pabaktan tanahnya tinggi terbuang (longsor) luas dalamnya tertutup jalannya penuh rumput serta lumut.
5. Laksana perempuan sakit merana lukisannya lesu pucat, bertebaran daun cemara yang diterpa angin kusut bergelung, kelapa gading melulur tapasnya pinang letih lusuh melayu, bambu gading melepas pelepahnya layu merana tak ada hentinya (Muljana, 2006:361-362 dan Riana, 2009:187-191 dengan sedikit perubahan).
Kemudian, lebih lanjut lagi informasi mengenai tempat pen-dharma-an Ken Angrok di Kagenengan terdapat pada prasasti Mula-Malurung (1254 M), juga disebutkan berhubungan dengan kakek dari Nararya Smining Rat (yang mengeluarkan prasasti), kakeknya adalah pendiri Kerajaan Tumapel yang meninggal di dampar kencana (singgasana) dan di-dharma-kan di Kagenengan (Suwardono, 2013:242).  Hanya keturunannya saja yang dengan senang hati membangun caitya bagi sang raja. Kalau kita lihat raja raja Singosari dari Raja Anusapati sampai ke Raja Kertanegara yg memerintah kerajaan Singosari semua merupakan keturunan trah dari Tunggul Ametul . Pertanyaan ny apakah raja raja tersebut membangun sebuah bangunan suci kepada eyang Prabu Ken Arok yg merupakan dalang dari pembunuhan Akuwu Tunggul ametung dan Ken Arok bukan leluhur dari Raja raja Singosari. 
        Setelah Singosari dikalahkan gelang gelang baru lah trah dari Ken Arok Raden Wijaya menjadi raja dengan mendirikan kerajaan Majapahit di alas trik. 
     Sumber yang membahas tentang kagenengan berada di alas trik memang tidak ada tapi kalau kita melihat kajian balar yang meneliti selama 1986 sampai 1994 pernah menyebut di daerah tarik ada nama Pagenengan  yang pernah di kaji oleh balar jogja. Menurut warga yang pernah melihat disana ditemukan kepala budha dan patahan mahkota dari sebuah arca serta arca dwarapala berkepala kera atau Anoman. Tentunya analisa ini perlu dikaji bersama dengan tim yang dahulu pernah meneliti di area Pagenengan baik temuan apa saja dan hasil dari kajian tersebut . Kalau merujuk Ken Arok di candi kan sebagai siwabudha sangat lah cocok karena di area tersebut terdapat patahan dari arca Siwa dan Budha . 
      Analisa yang berhubungan dengan Prabu Hayam pada Negarakertagama 

Pupuh XXXVI:

1. Pada subhakala Baginda berangkat ke selatan menuju Kagenengan, akan berbakti di pen-dharma-an bhatara bersama segala pengiringnya, harta alat, dan makanan mengiringkan bunga beserta upacara indah didahului kibaran bendera terdukung ramai orang menonton. Karena alat transportasi kebanyakan melalui jalur air kemungkinan sang prabu berangkat dari antawulan menuju ke pelabuhan Canggu yang berada di sisi Utara kedaton Majapahit awal . Setelah sang prabu beliau sampai di Canggu sang prabu berjalan ke selatan menuju ke tempat pendharmaan atau bangunan suci kagenengan yang tak jauh dari kedhaton .

NB
Merupakan analisisa jangan dijadikan sebagai bahan perdebatan karena kita semua sangat bangga dengan kasanah sejarah nuswantara
Sumber di ambil dari cerita tutur dan kajian berkala balar jogja. Kalau pun analisa ini salah kami mohon maaf.




Rabu, 24 Juli 2019

IDENTIFIKASI JALUR PELARIAN RADEN WIJAYA

IDENTIFIKASI JALUR PELARIAN RADEN WIJAYA

    Nararya Sanggramawijaya, atau yang lebih terkenal dengan nama Raden Wijaya, adalah pendiri Kerajaan Majapahit yang pada tahun 1292 memimpin pasukan Singhasari menghadapi serangan tentara Glang-glang di utara. Semula ia mengejar musuh, namun kemudian berubah jadi dikejar musuh, hingga akhirnya mengungsi ke Madura, untuk bekerja sama dengan Arya Wiraraja di Songeneb.

   Kisah perja Raden Wijaya ini terdapat dalam prasasti Kudadu, yang dikeluarkan pada tahun 1294. Saat itu Raden Wijaya telah berhasil mengalahkan Prabu Jayakatwang dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Prasasti tersebut merupakan piagam penghargaan kepada pemimpin Desa Kudadu yang telah melindungi dirinya saat dikejar-kejar pasukan musuh pada tahun 1292.
   Berikut adalah kutipan terjemahan dari prasasti tersebut, khusus pada bagian yang menceritakan rute perjalanan Raden Wijaya dari Singhasari menuju Madura :
… Sri Maharaja (Kertarajasa Jayawardhana) dulu saat belum menjadi raja, dan masih bernama Nararya Sanggramawijaya, saat itu Beliau dalam kesedihan karena dikejar-kejar musuh hingga sampai ke Kudadu. Penyebabnya ialah, Sri Kertanagara berpulang ke alam Siwa-Buddha karena diserang Sri Jayakatyeng dari Glang-glang, yang berubah menjadi musuh, berlaku curang, mendurhakai sahabat, mengingkari perjanjian, terdorong nafsu ingin menyirnakan Sri Kertanagara di negara TUMAPEL.
Ketika pasukan Sri Jayakatyeng terdengar telah sampai di JASUN WUNGKAL, Sri Kertanagara pun mengutus Sri Maharaja dan Sang Ardharaja untuk menghadapi mereka. Sang Ardharaja adalah menantu Sri Kertanagara yang juga putra Sri Jayakatyeng. Maka, berangkatlah Sri Maharaja dan Sang Ardharaja dari negara Tumapel. Sesampainya di KEDUNG PELUK, Sri Maharaja bertemu musuh, dan berperang melawan mereka. Pihak lawan kalah dan melarikan diri, tidak diketahui berapa jumlah korban yang tewas.
Sri Maharaja dan pasukannya bergerak sampai di LEMBAH, di sana tidak bertemu musuh. Kemudian Sri Maharaja bergerak ke barat menuju BATANG, di sana mereka bertemu musuh tetapi tidak melawan. Musuh pun bergerak mundur. Sri Maharaja bergerak dari Batang, sampai di KAPULUNGAN dan bertemu musuh. Terjadilah pertempuran di sebelah barat Kapulungan. Pihak musuh kalah dan banyak yang terluka.
Sri Maharaja dan pasukannya bergerak lagi dan sampai di RABUT CARAT. Tidak lama kemudian, terlihat musuh datang dari arah barat. Sri Maharaja dan pasukannya pun menghadapi mereka. Banyak musuh yang tewas dan melarikan diri. Semuanya takluk melawan Sri Maharaja. Pada saat itulah terlihat bendera musuh berkibar-kibar di sebelah timur HANIRU, merah dan putih warnanya. Melihat bendera itu, Sang Ardharaja menyarungkan senjata, lalu melarikan diri menuju Kapulungan. Hal ini membuat pasukan Sri Maharaja (Sanggramawijaya) menjadi rusak, namun Beliau tetap berbakti kepada Sri Kertanagara. Oleh sebab itu, Beliau tetap tinggal di Rabut Carat, kemudian bergerak ke utara sampai di PAMWATAN APAJEG di seberang utara sungai. Saat itu pengikut Sri Maharaja berjumlah enam ratus orang.
Pagi harinya, musuh datang menyerang. Pasukan Sri Maharaja melawan mereka. Tentara Sri Maharaja semakin berkurang, karena ada yang melarikan diri meninggalkan Beliau. Sri Maharaja berniat menuju ke TERUNG, untuk meminta bantuan akuwu di sana yang bernama Rakryan Wurwagraja yang dulu dilantik oleh Sri Kertanagara, dengan harapan bisa memperoleh bala bantuan dari sekitar timur Terung. Para pengikut pun ikut senang atas rencana ini.
Sri Maharaja dan pasukan berangkat menuju KULAWAN pada malam hari, karena takut bertemu musuh yang berjumlah sangat banyak. Namun, sesampainya di sana, mereka justru bertemu musuh. Karena dikejar-kejar musuh, Sri Maharaja pun bergerak ke arah utara, mengungsi ke KEMBANGSRI. Di sana pun Sri Maharaja bertemu musuh, dikejar-kejar dan berlari ke arah utara, menyeberangi sungai. Para pengikut Beliau berenang dengan tergopoh-gopoh, banyak yang mati hanyut, dan banyak pula yang terkejar musuh lalu ditusuk tombak. Mereka yang selamat melarikan diri tak tentu arah, sehingga pengikut Sri Maharaja hanya tinggal dua belas orang saja yang mengawal Beliau.
Siang harinya, Sri Maharaja dan para pengikut sampai di KUDADU dalam keadaan lapar, letih, dan berduka. Kepala desa Kudadu menyambut mereka dan memberikan bakti berupa makanan, minuman, nasi, semua dipersembahkan kepada Sri Maharaja. Kepala desa Kudadu juga memberikan tempat persembuyian kepada Sri Maharaja dan pasukannya agar tidak ditemukan musuh. Kemudian, kepala desa Kudadu menunjukkan jalan dan mengantarkan Sri Maharaja hingga sampai ke REMBANG, ketika Beliau (Sanggramawijaya) berniat mengungsi ke MADURA .
Dari kutipan prasasti di atas, kita temukan nama-nama tempat, yaitu Tumapel, Jasun Wungkal, Kedung Peluk, Lembah, Batang, Kapulungan, Rabut Carat, Haniru, Pamwatan Apajeg, Terung, Kulawan, Kembangsri, Kudadu, Rembang, Madura. Marilah kita bahas satu persatu rute yang dilewati Raden Wijaya dalam peristiwa di tahun 1292 tersebut.
TUMAPEL
Tumapel adalah nama kerajaan yang dipimpin Sri Kertanagara, yaitu mertua Raden Wijaya. Menurut Kakawin Nagarakretagama, kerajaan ini memiliki ibu kota bernama Singhasari. Tidak perlu diragukan lagi, wilayah yang dahulu bernama Singhasari saat ini bernama Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
JASUN WUNGKAL
Ketika pasukan Glang-glang telah terdengar sampai di Jasun Wungkal, Sri Kertanagara mengutus Raden Wijaya dan Ardharaja untuk menghadapi mereka. Secara harfiah, Jasun berarti bawang, dan Wungkal berarti batu. Jasun Wungkal berarti Bawang Batu. Di manakah letaknya?
Apakah Jasun Wungkal saat ini bernama Kota Batu? Tidak mungkin. Kota Batu terletak di sebelah barat Kecamatan Singosari, sedangkan Kapulungan, yaitu tempat terjadinya pertempuran antara pasukan Raden Wijaya dan musuh terletak jauh di utara (akan dibahas di bawah). Dengan kata lain, Kapulungan harus terletak di antara Tumapel dan Jasun Wungkal.
Ada pendapat bahwa Jasun Wungkal sekarang bernama Desa Watukosek, yang terletak di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Ada pula pendapat bahwa Jasun Wungkal sekarang bernama Dusun Bangkal, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Akan tetapi, Bangkal sendiri artinya adalah “pangkal”, tentunya berbeda dengan Wungkal yang bermakna “batu”. Dalam hal ini tentunya Watukosek lebih masuk akal. Hanya saja perlu penelitian lebih lanjut, mengapa Bawang Watu bisa berubah jadi Watu Kosek.
Sekadar informasi, nama desa Jasun Wungkal kemudian digunakan oleh S. Tidjab dalam sandiwara radio Tutur Tinular sebagai tempat tinggal tokoh antagonis Mpu Tong Bajil sesudah Singhasari runtuh.
KEDUNG PELUK
Dari kutipan prasasti di atas, dapat dibayangkan bahwa pasukan Raden Wijaya bergerak dari Tumapel ke arah utara, sedangkan pasukan Glang-glang bergerak dari Jasun Wungkal ke arah selatan. Pertempuran pertama terjadi di Kedung Peluk.
Pada saat ini terdapat desa bernama Kedung Peluk di Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo. Namun, lokasi ini letaknya terlalu jauh di utara Rabut Carat yang terletak di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan (akan dibahas di bawah). Padahal, Rabut Carat seharusnya berada di utara Kedung Peluk. Dengan demikian, Kedung Peluk yang sekarang ada di Sidoarjo jelas tidak sama dengan Kedung Peluk yang ada prasasti Kudadu.
Kedung Peluk yang terdapat di prasasti harus dicari lokasinya di jalur antara Kecamatan Singosari (Malang) dan Kecamatan Gempol (Pasuruan).LEMBAH dan BATANG
    Pasukan Glang-glang di Kedung Peluk berhasil dipukul mundur oleh pasukan Raden Wijaya. Jelas ini adalah siasat mundur untuk memancing Raden Wijaya agar semakin jauh meninggalkan ibu kota Singhasari di selatan. Dengan kata lain, rute mundurnya pasukan Glang-glang harus menuju ke arah utara.
Disebutkan dalam prasasti, bahwa Raden Wijaya mengejar musuh hingga ke Lembah. Saya kurang tahu di mana daerah yang dimaksud dengan Lembah tersebut. Apakah lembah di sekitar Gunung Welirang? Ataukah mungkin Lembah itu sekarang bernama Desa Lemahbang, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan? Saya tidak berani memastikan. Secara makna sudah berbeda, meskipun secara bunyi mirip.
Setelah melewati Lembah, pasukan Raden Wijaya bergerak ke barat, hingga sampai di Batang. Di sana mereka bertemu musuh tetapi tidak terjadi perlawanan. Untuk lokasi Batang juga saya belum bisa memastikan.
KAPULUNGAN
  Setelah melewati Batang, pasukan Raden Wijaya mengejar musuh hingga sampai di Kapulungan. Terjadilah pertempuran di sebelah barat Kapulungan.
Untuk identifikasi Kapulungan tidak terlalu sulit, karena sampai saat ini masih ada Desa Kepulungan, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Lokasinya terletak di utara Kecamatan Singosari dan di sebelah selatan Desa Carat yang merupakan toponimi Rabut Carat (akan dibahas di bawah).
RABUT CARAT dan HANIRU
  Setelah mengalahkan musuh di Kapulungan, pasukan Raden Wijaya bergerak lagi dan sampai di Rabut Carat. Di sana pun mereka kembali mengalahkan musuh. Untuk identifikasi Rabut Carat tidaklah sulit karena saat ini masih terdapat Desa Carat di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.
Rabut Carat ini adalah tempat di mana Ardharaja memisahkan diri dari pasukan Raden Wijaya untuk kemudian bergabung dengan pihak musuh. Penyebabnya ialah, terlihatnya bendera musuh di sebelah timur Haniru, berwarna merah dan putih. Entah di mana lokasi Haniru saat ini, yang jelas tidak boleh terlalu jauh dari Desa Carat. 
PAMWATAN APAJEG
Rabut Carat adalah titik balik nasib Raden Wijaya dari yang semula mengejar musuh, berubah menjadi dikejar-kejar musuh. Ia dan pasukannya bergerak ke utara sampai di Pamwatan Apajeg. Berdasarkan kemiripan toponimi, saat ini masih terdapat Desa Pamotan di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, yang lokasinya berada di utara Desa Carat, sehingga sesuai dengan berita pada prasasti.
TERUNG
Raden Wijaya yang dalam posisi terdesak berniat meminta bantuan Rakryan Wuru Agraja di Terung. Sampai saat ini masih terdapat desa bernama Terung Kulon dan Terung Wetan di Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Posisinya terletak di arah barat laut Desa Pamotan.
KULAWAN
Dalam perjalanan menuju Terung, Raden Wijaya melewati Kulawan dan bertemu musuh di sana. Dengan kata lain, Kulawan harus terletak di antara jalur Kecamatan Porong dan Kecamatan Krian. Kemungkinan besar, Kulawan saat ini terletak di Kecamatan Tulangan, Kabupaten Sidoarjo. Mengapa terletak di Tulangan? Karena dalam prasasti disebutkan bahwa rencana ke Terung gagal karena bertemu musuh di Kulawan, sehingga pasukan Raden Wijaya berbelok ke utara menuju Kembangsri (akan dibahas di bawah).
Sekadar informasi, sandiwara radio Tutur Tinular mengisahkan bahwa tokoh utamanya yang bernama Arya Kamandanu berasal dari Desa Kurawan. Ada yang berpendapat bahwa, Kurawan diambil dari nama Wurawan, yang terletak di Madiun Selatan. Namun, hal ini jelas tidak tepat, karena Wurawan adalah tempat berdirinya Kerajaan Glang-glang, sehingga tidak mungkin Arya Kamandanu berasal dari tempat musuh berada.
Maka, yang paling memungkinkan adalah, Desa Kurawan dalam Tutur Tinular sama dengan Desa Kulawan dalam prasasti Kudadu.
KEMBANGSRI
Menurut prasasti Kudadu, pasukan Raden Wijaya dikejar-kejar musuh dari Kulawan menuju ke utara, hingga sampai di Kembangsri. Dengan kata lain, perjalanan menuju Terung di arah barat laut gagal total dan berubah menjadi ke utara.
Secara toponimi, di sebelah utara Kecamatan Tulangan saat ini terdapat Desa Bangsri di Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo. Dalam prasasti disebutkan bahwa para pengikut Raden Wijaya banyak yang tewas hanyut di sungai dekat Kembangsri. Sungguh kebetulan, bahwa di Desa Bangsri saat ini pun masih terdapat sungai pecahan Kali Brantas.
KUDADU dan REMBANG
Setelah melewati Kembangsri menuju ke utara, Raden Wijaya diterima oleh kepala Desa Kudadu dan bersembunyi di sana. Dengan kata lain, Kudadu terletak di sebelah utara Kembangsri. Kemudian, kepala Desa Kudadu mengantarkan Raden Wijaya menuju ke Rembang untuk selanjutnya mengungsi ke Pulau Madura.
Jika Kembangsri sama dengan Desa Bangsri, maka Kudadu mungkin sama dengan Desa Bringinbendo atau Desa Sambibulu, atau Desa Gilang yang posisinya terletak di antara Bangsri dan Rembang.
Adapun Rembang secara kemiripan toponimi dapat ditemukan saat ini, yaitu Desa Krembangan, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, yang lokasinya terletak di sebelah utara Bangsri. Selain itu, Krembangan juga terletak di dekat Kali Mas, yaitu pecahan Kali Brantas yang mengalir menuju Kota Surabaya dan akhirnya bermuara di Selat Madura. Itu artinya, Desa Krembangan sangat cocok sebagai lokasi Rembang dalam prasasti Kudadu.
Dengan demikian, identifikasi Rembang dengan Kecamatan Rembang di Kabupaten Pasuruan jelas kurang tepat, karena terlalu jauh. Tidak mungkin Raden Wijaya menempuh risiko kembali ke selatan hanya untuk berlayar ke Madura. Apabila ia menempuh jalur Kali Mas jauh lebih masuk akal daripada putar balik ke selatan.
Selain itu, Rembang juga tidak mungkin sama dengan Kabupaten Rembang-Lasem di Jawa Tengah. Jelas itu pun terlalu melenceng. Mana mungkin Raden Wijaya yang punya niat hendak ke Madura harus pergi ke Lasem terlebih dahulu? Ini jelas tidak masuk akal.
Demikian, sedikit pembahasan dan perlu dikoreksi.
Bahan bacaan : Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya karya Prof. Dr. Slamet Muljana (Bhratara 1979)

Kitab Kutara Manawa Dharma Sastra

Kitab Kutara Manawa ini diilhami oleh kitab hukum yang lebih tua, yang sebelumnya pernah digunakan pada masa kerajaan Singosari. Kitab hukum di zaman Singosari tersebut terdiri dari dua buah kitab utama, yaitu Kutarasastra dan Manawasastra. Lalu, perlu diketahui pula bahwa kitab-kitab hukum yang digunakan di masa kerajaan Singosari itu pun adalah saduran dan atau pengembangan dari hukum yang pernah di terapkan pada masa kerajaan sebelumnya yaitu kerajaan Medang (Mataram kuno) dan Kalingga. Dimana hukum tersebut dikenal nama Dharmasastra.

1. Pembuktian tentang keberadaan kitab Kutara Manawa
Dalam Kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora (seorang pembesar Majapahit) dikenakan tuntutan hukuman mati berdasarkan kitab undang-undang Kutara Manawa, akibat pembunuhannya terhadap Mahisa Anabrang ketika terjadi pemberontakan Rangga Lawe. Dari uraian Kidung Sorandaka tersebut, kita pun bisa mengetahui tentang adanya kitab undang-undang yang bernama Kutara Manawa pada masa kerajaan Majapahit. Selanjutnya dalam penelitian prasasti-prasasti di zaman Majapahit, setidaknya terdapat dua prasasti yang mencatat nama kitab undang-undang Kutara Manawa ini, yaitu Prasasti Bendasari (sayang tidak bertarikh) dan Prasasti Trowulan yang berangka tahun 1358 Masehi.

Pada prasasti Bendasari yang dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Dyah Hayam Wuruk/Brawijaya III) yang termuat dalam O.J.O LXXXV pada lempengan 6a, tersebut nama perundang-undangan tersebut dalam kalimat seperti berikut ini:

“Makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda ka ring malama”
Artinya: Dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman dahulu.

Pada Prasasti Trowulan yang juga dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, maka pada lempengan III baris 5 dan 6, kedapatan juga nama kitab perundang-undangan Kutara Manawa ini, yang bunyinya seperti berikut:

” …. Ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wicecana tatpara kapwa sama-sama sakte kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ….” 
Artinya: Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kutara Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap menafsirkan kitab-kitab undang-undang seperti Kutara Manawa.

Dari uraian kedua prasasti tersebut, dapatlah kita pastikan bahwa nama kitab perundang-undangan pada zaman kerajaan Majapahit adalah Kutara Manawa. Terjemahan dari kitab ini memang pernah diterbitkan oleh Dr. J.C.G Jonker pada tahun 1885. Dan khusus pada pasal 23 dan 65 kitab undang-undang tersebut menyebut nama Kutara Manawa. Oleh karenanya dalam hal ini semakin dapat dipastikan bahwa kitab perundang-undangan di zaman kerajaan Majapahit disebut dengan Kutara Manawa.

2. Susunan dan isi kitab Kutara Manawa
Kitab hukum ini di tulis dalam bahasa Jawa kuno. Secara keseluruhan kitab Kutara Manawa ini terdiri dari 275 pasal yang lebih menitik beratkan kepada perkara-perkara hukum pidana (jenayah) disamping ada juga yang berkaitan dengan hukum perdata semacam perkawinan, mahar, jual-beli, hutang-piutang dan lain-lain. Dari penelusuran yang dilakukan, maka semua pasal-pasal itu termaktub ke dalam 19 Bab sebagai berikut:

1. Bab I : Ketentuan umum mengenai denda.
2. Bab II : Asta Dusta atau Delapan macam pembunuhan.
3. Bab III : Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula.
4. Bab IV : Asta Corah atau Delapan macam pencurian.
5. Bab V : Sahasa atau Paksaan.
6. Bab VI : Adol-atuku atau Jual-beli.
7. Bab VII : Sanda atau Gadai.
8. Bab VIII : Ahutang-apihutang atau Hutang-piutang.
9. Bab IX : Titipan.
10. Bab X : Tukon atau Mahar.
11. Bab XI : Kawarangan atau Perkawinan.
12. Bab XII : Paradara atau Mesum.
13. Bab XIII : Drewe kaliliran atau Warisan.
14. Bab XIV : Wakparusya atau Caci-maki.
15. Bab XV : Dandaparusya atau Menyakiti.
16. Bab XVI : Kagelehan atau Kelalaian.
17. Bab XVII : Atukaran atau Perkelahaian.
18. Bab XVIII : Bhumi atau Tanah.
19. Bab XIX : Duwilatek atau Fitnah.

Catatan: Dalam Bab umum dari kitab Kutara Manawa ini dinyatakan secara tegas bahwa raja yang berkuasa (sang amawa bhumi) harus teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah dalam hal penetrapannya. Jangan sampai orang yang bertingkah salah luput dari tindakan (hukuman). Itulah kewajiban raja yang berkuasa jika sungguh-sungguh mengharapkan kerahayuan negaranya.



3. Kutipan isi kitab dari Kutara Manawa
Untuk lebih jelasnya, disini akan kami sampaikan cuplikan dari beberapa pasal penting dalam kitab Kutara Manawa. Yaitu:

1. BAB II (Asta Dusta) pasal 3 dan pasal 4
Pada bab ini diuraikan tentang Asta Dustayaitu delapan macam pembunuhan, antara lain:
1. Membunuh orang yang tidak berdosa.
2. Menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa.
3. Melukai orang yang tidak berdosa.
4. Makan bersama dengan pembunuh.
5. Mengikuti jejak pembunuh.
6. Bersahabat dengan pembunuh.
7. Memberi tempat kepada pembunuh.
8. Memberi pertolongan kepada pembunuh.

Dari delapan pembunuh tersebut, maka yang nomor 1, 2 dan 3 akan di kenakan hukuman mati, sedangkan sisanya dikenakan denda uang masing-masing sebanyak dua laksa oleh raja yang berkuasa.

1) Pasal 3 menyebutkan bahwa: “Barang siapa membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa dan melukai orang yang tidak berdosa, dikenakan hukuman mati. Ketiga dusta (pembunuh) tersebut dikenal dengan istilah dusta bertaruh jiwa. Jika memang yang terbukti bersalah mengajukan permohonan hidup kepada raja yang berkuasa, ketiga-tiganya dikenakan denda uang empat laksa masing-masing sebagai syarat penghapus dosanya”

2) Pasal 4 menyebutkan bahwa: “Barang siapa makan bersama dengan pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, memberi tempat (perlindungan) kepada pembunuh serta memberi pertolongan kepada pembunuh, jika memang terbukti bersalah, akan dikenakan denda masing-masing dua laksa oleh raja yang berkuasa”. 

Catatan: Seandainya hukuman yang ada pada BAB II (Asta Dusta) ini diterapkan di negeri ini, niscaya Nusantara akan aman dan terlindungi.

2. BAB IV (Asta Corah) pasal 21, 22, 23, 55, 56, dan 57
Pada bab ini diuraikan tentang Asta Corahatau delapan pencuri, yaitu:
1. Mereka yang menjalankan pencurian.
2. Mereka yang menghasut supaya mencuri.
3. Mereka yang memberi makanan kepada seorang pencuri.
4. Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri.
5. Mereka yang bersahabat dengan seorang pencuri.
6. Mereka yang memberi petunjuk kepada seorang pencuri hingga mendapat kesempatan untuk mencuri.
7. Mereka yang menolong seorang pencuri.
8. Mereka yang menyembunyikan seorang pencuri.

“Mereka itulah yang disebut Asta Corah (delapan orang pencuri) itu, dan mudah-mudahan mereka itu dihukum oleh baginda: tetapi ayah mereka, ibu mereka, anak-anak mereka dan saudara-saudaranya yang lain tidak boleh dihukum oleh baginda, kalau mereka itu tidak ikut bersalah: hanya delapan orang yang tersebut di atas itu boleh dihukum” (pasal 21).

Hukuman-hukuman yang diberikan kepada delapan orang pencuri itu berlainan. Bagaimana cara memberikan hukuman itu dapat dilihat dalam pasal 22, 23, 55, 56, dan 57 berikut ini:

1) Pasal 22 menyebutkan bahwa: “Mereka yang mencuri dan mereka yang menghasut supaya mencuri, kalau ada bukti-buktinya, dapat dikenakan hukuman mati oleh baginda; isteri, anak pencuri itu dengan segala hak miliknya dibawa kedalam tempat tinggal baginda untuk dijual oleh baginda atau diberikan kepada orang lain; isteri dan anak mereka yang menghasut supaya mencuri, boleh tetap ditempat tinggalnya dan dikenakan denda 10.000; kalau mereka juga ikut menghasut supaya mencuri, maka mereka itu harus mati pula oleh baginda”.

2) Pasal 23 menyebutkan bahwa: “Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri juga mereka yang memberi makan kepada seorang pencuri, kalau ada bukti-buktinya, dikenakan denda 20.000 oleh baginda; isteri dan anak-anaknya tidak dikenakan hukuman; mereka yang menyembunyikan seorang pencuri atau menjaga seorang pencuri, dan mengatakan bahwa ia itu bukan pencuri, atau mereka yang menyingkirkan seorang pencuri; sedang terdapat bukti-bukti yang menyatakan bahwa orang itu pencuri, dikenakan denda 40.000 oleh baginda; mereka yang membantu pencuri, sedang tahu bahwa orang itu pencuri atau berdiam diri, sedang mereka itu telah lama bersahabat dengan orang itu, dikenakan denda 10.000 oleh baginda; kalau mereka itu menghasut pula supaya mencuri, maka mereka itu dikenakan hukuman mati pula oleh baginda”.

3) Pasal 55 menyebutkan bahwa: “Jika seorang pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati ; anak isterinya, miliknya dan tanahnya diambil alih oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri itu mempunyai hamba laki-laki dan perempuan, hamba-hamba itu tidak diambil alih oleh raja yang berkuasa, tetapi dibebaskan dari segala utangnya kepada pencuri yang bersangkutan”.

4) Pasal 56 menyebutkan bahwa: “Jika seorang pencuri mengajukan permohonan hidup, maka ia harus menebus pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang kena curi dengan mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat, demikianlah bunyi hukumnya”.

5) Pasal 57 menyebutkan bahwa: “Jika di dalam suatu desa terjadi pembunuhan atas seorang pencuri, maka barang curian, kepala pencuri, harta miliknya, anak-isterinya, supaya dihaturkan (diserahkan) kepada raja yang berkuasa. Itulah jalan yang harus ditempuh. Jika kerabat pencuri itu terbukti tidak ikut serta dalam pencurian, mereka tidak layak dikenakan denda”.

Catatan: Seandainya hukuman yang ada pada BAB IV (Asta Corah) ini diterapkan di negeri ini, niscaya Nusantara akan kaya raya dan berjaya.

3. BAB V (Sahasa), pasal 86, 87 dan 92
Pada bab ini dijelaskan tentang hukuman untuk perkara Sahasa atau paksaan dari seseorang kepada orang lain. Seperti bunyi pasal berikut ini:

1) Pasal 86: “Barang siapa mengambil milik orang tanpa hak, supaya diperingatkan bahwa barang yang diambil secara haram itu akan hilang dalam waktu enam bulan. Jika belum hilang dalam enam bulan, peringatkan bahwa barang itu akan hilang dalam waktu enam tahun. Segala modal milik orang yang mengambil barang tanpa hak itu akan turut hilang. Ingat-ingatlah akan ajaran sastra : jangan sekali-kali mengambil uang secara haram”.

2). Pasal 87: “Barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi milik orang lain, dikenakan denda dua laksa. Barang siapa merampas hamba orang lain, dendanya dua laksa. Denda itu dihaturkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala apa yang dirampas, terutama hamba, dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat”.

3) Pasal 92: “Barang siapa menebang pohon orang lain tanpa ijin pemiliknya, dikenakan denda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa; pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat”.

Catatan: Seandainya hukuman yang ada pada V (Sahasa) ini diterapkan di negeri ini, niscaya Nusantara akan makmur dan sejahtera.

Selain itu, mengenai hukum waris, maka terdapat 6 jenis anak yang mempunyai hak waris, yaitu:

1. Anak yang lahir dari penikahan pertama, ketika ibu-bapaknya masih sama sama muda dan sejak kecil telah dipertunangkan.
2. Anak yang lahir dari istri dari penikahan yang kedua kali, dan mendapat persetujuan orang tuanya.
3. Anak pemberian saudaranya.
4. Anak yang diminta dari orang lain.
5. Anak yang diperoleh dari istri akibat percampuran dengan iparnya laki laki atas persetujuan suaminya.
6. Anak buangan yang dipungut dan diakui sebagai anak.

Sedangkan anak yang tidak mempunyai hak waris antara lain:

1. Anak yang tidak diketahui siapa bapaknya, karena diperolehibunya sebelum kawin.
2. Anak campuran laki laki banyak.
3. Anak seorang istri yang diceraikan dan rujuk kembali seteah bercampur dengan laki laki lain.
4. Anak orang lain yang minta diakui anak.
5. Anak yang diperoleh karena pembelian.
6. Anak hamba yang diakui anak.

Kemudian, yang sangat menarik yaitu peraturan mengenai pemberantasan guna-guna atau tenung, yang kita sekarang sangat ganjil mendengarnya, oleh karena zaman sekarang hal semacam itu dianggap sebagai takhayul dan tidak untuk memasukkannya ke dalam suatu ayat undang-undang. Ini diuraikan dalam pasal 173. Bunyinya sebagai berikut:

“Jika orang menulis nama orang lain pada pakaian atau kain orang meninggal, atau pada kain yang berbentuk boneka, atau boneka terbuat dari tepung dan mengubur boneka itu di kuburan, atau meletakkannya di dalam pohon, di tanah yang telah dibubuhi mantera, atau pada simpangan jalan, maka orang yang demikian itu dianggap sebagai tukang sunglap yang jahat; kalau kejahatan orang yang demikian itu terbukti, maka baginda harus membunuhnya dengan semua anak cucunya dan orang tuanya; tidak seorangpun di antaranya boleh dibiarkan hidup oleh baginda, kalau baginda hendak mencapai kesejahteraan dunia; semua hak miliknya yang ada di dalam daerahnya boleh diambilnya”.

Ya. Hidup kesusilaan pada waktu itu sangat dijunjung tinggi. Hal itu berhubung dengan kepercayaan mereka, bahwa masyarakat itu adalah sebagian dari Tuhan. Maka jika kesusilaan dilanggar, bencana akan menimpa seluruh masyarakat. Oleh karena itu lihat bagaimana kerasnya tindakan-tindakan untuk memberantas perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan. Dalam hal yang demikian rupa hukuman mati sering dengan lekas diberikan. Ini dapat dilihat dalam pasal 250 yang berbunyi:

“Kalau ada orang memberi hadiah kepada orang perempuan yang sudah bersuami atau orang perempuan yang dilarang oleh kasta, atau menerimanya dari orang perempuan itu karena terdorong oleh cinta hati, tidak perduli terdiri dari apakah hadiah itu, entah bedak, bunga hiasan telinga, cincin, pisau, sepotong pakaian atau hiasan, pendek kata apa saja diberikan oleh laki-laki atau perempuan sebagai hadiah, atau jika ada orang diketemukan sedang bersenda-gurau atau ketawa dengan diam-diam dengan orang perempuan, maka itu dianggap sebagai strisanggrahana zina dan ia dikenakan hukuman mati”.

Selain itu, pemerintah pada waktu itu juga seperti pemerintah sekarang yang terus berusaha memberantas bunga (riba) yang sangat besar yang dipungut oleh kaum lintah-darat. Bunga yang boleh dipungut pada waktu itu hanya 0,5 % tiap-tiap bulan, itupun bunga yang paling tinggi.

Selain itu, karena masyarakat pada waktu itu sudah terdiri dari beberapa kasta, maka hukuman yang diberikan kepada tiap-tiap kasta pun berlainan. Perbedaan-perbedaan itu dapat lihat dari pasal 220 berikut ini:

“Kalau orang ksatriya mencaci maki orang brahmana ia dikenakan denda 2000; kalau orang waisya mencaci maki orang brahmana, ia dikenakan denda 5000; kalau orang sudra mencaci-maki orang brahmana, ia dikenakan hukuman mati; baginda harus membunuh orang yang diperhamba ini. Kalau orang brahmana mencaci-maki orang ksatriya ia dikenakan denda 1000; kalau ia mencaci-maki orang waisya dikenakan denda 500; jika orang sudra, dikenakan 250”.

Sayang sekali, bahwa kita tidak dapat mengetahui ukuran uang yang dipakai pada waktu itu. Dan denda yang paling tinggi saat itu adalah 160.000.




Terkait
Kisah Sejarah Nusantaradalam "Info Terbaru"

10 DINASTI YANG MEMERINTAH CINA

1. Dinasti Hsia

Gambar Dinasti Hsia
Dinasti Hsia
Dinasti Hsia merupakan dinasti tertua di Cina. Termasuk zaman protosejarah Cina, karena tidak meninggalkan prasasti.

2. Dinasti Shang

Foto Dinasti Shang
Dinasti Shang
Dinasti Shang merupakan dinasti di Cina yang mengawali pemerintahan Cina Kuno yang berbentuk kerajaan. Pendiri Dinasti Shang adalah Kaisar Chengtang. Dalam menjalankan pemerintahannya kaisar dibantu oleh para peramal yang ikut menentukan segala kebijakan pemerintah.
Pemerintahan Dinasti Shang berpusat di kawasan yang sekarang termasuk provinsi Henan, di Lembah Sungai Huang Ho (Sungai Kuning). Dinasti ini mengembangkan kebudayaan yang paling gikenal sebagai kebudayaan Lug Shan. Peninggalan dari kebudayaan ini berupa bejana perunggu, kereta kuda, dan sistem tulisan. Masa pemerintahan Dinasti Shang berakhir setelah ditaklukkan oleh Dinasti Chou.

3. Dinasti Chou

Foto Dinasti Chou
Dinasti Chou
Didirikan oleh tiga serangkai, yaitu : Raja Wu, Raja Wen, dan Pangeran Chou. Pemerintahan Dinasti Chou bersifat feodalisme. Pemerintahan langsung di bawah kekuasaan kaisar, sedangkan pemerintahan daerah dipegang oleh para pembantu kaisar yang menguasai daerah-daerah atas nama kaisar yang disebut raja vazal.
Pada zaman Dinasti Chou muncul tokoh-tokoh filsafat ternama Cina, antara lain : Lao Tse, Kung Fu Tse, dan Meng Tse. Masa pemerintahan Dinasti Chou berakhir setelah Dinasti Chin mengambil alih kekuasaan.

4. Dinasti Chin

Foto Dinasti Chin
Dinasti Chin
Dinasti Chin didirikan oleh Pangeran yang bernama Shih Huang-ti. Ia adalah kaisar pertama yang berhasil mempersatukan seluruh wilayah Cina Kuno. Nama “Cina” diambil dari nama dinasti Chin tersebut.
Dalam rangka menyatukan Cina, Shih Huang-ti mengganti sistem pemerintahan feodalisme menjadi Unitarisme. Kerajaan kecil dihapuskan dan dijadikan semacam provinsi. Semua vasal ditarik ke ibu kota Xian dan diganti dengan administrator yang langsung bertanggung jawab kepada kaisar. Untuk semua wilayah kerajaan diberlakukan undang-undang yang sama.
Kaisar Shih Huang-ti memerintah Cina dengan kekuatan tangan besi. Ia menyingkirkan orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Di samping itu, kaisar juga melarang buku-buku dalam rangka melenyapkan kritik dan meneguhkan kekuasaannya.
Sifat tangan besinya itu juga nampak dalam pembangunan Tembok Besar Cina untuk membendung serangan dari bangsa Barbar (bangsa Hsiung Nu). Tembok besar Cina (The Great Wall of China) ini panjangnya 6.000 kilometer dan tingginya 16 meter.
Meskipun bertangan besi, Kaisar Shih Huang-ti berjasa besar bagi peradaban Cina Kuno. Jasa-jasanya antara lain :
a. Memperbarui dan memberlakukan satu undang-undang untuk seluruh China.
b. Membakukan sistem ukuran dan tulisan.
c. Menyamakan satu jenis mata uang (koin), sehingga berlaku di seluruh China.
Penerus berikutnya dari Dinasti Chin tidak setangguh Shih Huang-ti. Kelemahan pemerintahan pusat itu menyulut pemberontakan dan kemelut politik. Masa pemerintahan Dinasti Chin berakhir setelah Dinasti Han mengambil alih kekuasaan.

5. Dinasti Han

Foto Dinasti Han
Dinasti Han
Dinasti Han didirikan oleh Liu-Pang, setelah naik tahta bergelar Han Kao Tsu. Pusat pemerintahan Dinasti Han adalah Chan-an. Mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Kaisar Han Wu Ti. Kerajaan Cina meliputi Asia Tengah, Korea, Manchuria Selatan, Anam, Sinkiang. Pada masa Dinasti Han dibangun jalan sutra, yaitu jalan yang menghubungkan Cina dengan Asia Tengah, Kashmir, dan bahkan sampai ke Asia Barat bertemu dengan jalur Romawi.
Setelah Kaisar Han Wu Ti meninggal tahun 87 Masehi, Dinasti Han mengalami kemunduran dan akhirnya runtuh pada tahun 221 Masehi. Lebih dari tiga abad negeri China terbagi menjadikerajaan-kerajaan kecil. Pada abad ke-7 Masehi negeri China berhasil dipersatukan kembali oleh Dinasti T’ang.

6. Dinasti T’ang

Foto Dinasti T'ang
Dinasti T’ang
Dinasti T’ang merupakan salah satu dinasti terpenting di negeri China. Dinasti T’ang didirikan oleh Li Shin Minh, yang terkenal dengan nama Kaisar T’ang Tai Tsung. Ibu kota Dinasti T’ang bernama Sian Fu.
Pada masa ini. kesenian dan kebudayaan berkembang pesat. Pada bidang seni syair dan seni lukis terdapat seniman yang terkenal seperti : Li Tao Po, Tu Fu, dan Wang Wei.
Tiga tindakan Kaisar T’ang Tai Shung yang menarik perhatian rakyatnya adalah sebagai berikut :
a. Dikeluarkannya undang-undang yang mengatur pembagian tanah.
b. Membuat peraturan-peraturan pajak.
c. Membagi kerajaan China menjadi 10 provinsi.
Pada abad ke-10 M, Dinasti T’ang runtuh, dan negeri China kembali mengalami kekacauan. Kekacauan ini baru berhasil diatasi pada tahun 960, untuk selanjutnya berdirilah Dinasti Sung.

7. Dinasti Sung

Foto Dinasti Sung
Dinasti Sung
Masa Sung Utara pusat pemerintahannya berada di Chang-an, sedangkan masa Sung Selatan pusat pemerintahannya di Nanking. Kaisar terbesar pada Dinasti Sung adalah Sung Fen Tsung.

8. Dinasti Mongol atau Yuan

Foto Dinasti Mongol atau Dinasti Yuan
Dinasti Mongol atau Dinasti Yuan
Dinasti Yuan didirikan oleh Kubilai Khan yang berasal dari Mongolia. Oleh karena itu dinasti ini dianggap sebagai pemerintahan asing. Ibu kota pemerintahan dinasti ini berada di Peking.

9. Dinasti Ming

Foto Dinasti Ming
Dinasti Ming
Pada masa Dinasti Ming China diperintah oleh bangsa sendiri dengan ibu kota pemerintahan di Nanking. Dinasti Ming ini merupakan pemerintahan nasional yang timbul sebagai reaksi atau pemerintahan asing Mongol.
Pendiri Dinasti Ming adalah Chung Yuan Cheng yang bergelar Ming Tai Tsu. Kaisar yang terkenal pada masa Dinasti Ming adalah Ming Cheng Tsu, yang lebih dikenal dengan nama Yung Lo. Pada masa Yung Lo ini ibu kota kerajaan dipindahkan dari Nanking ke Peking. Yung Lo juga mengirimkan ekspedisi-ekspedisi ke seberang lautan di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho.

10. Dinasti Manchu

Foto Dinasti Manchu
Dinasti Manchu
Dinasti Manchu merupakan dinasti terakhir di China dan merupakan dinasti asing, karena berasal dari Manchuria yang berhasil meruntuhkan Dinasti Ming. Dinasti Manchu mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Kaisar K’ang Hsi dan Kaisar Ch’in Lung.
Pada tahun 1911 terjadi Revolusi China di bawah pimpinan Sun Yat Sen dan berhasil menggulingkan kekuasaan Manchu. Kemudian berdirilah Republik China dengan presidennya Sun Yat Sen.

KERAMIK CINA


         Pada masa Dinasti Tang dan Dinasti Song antara abad ke-10 dan awal abad ke-13, teknologi pembuatan keramik porselen terus mengalami perkembangan. Porselen Tangsancai atau Porselen Tiga Warna Dinasti Tang justru adalah karya kerajinan industri porselen berwarna yang lahir pada masa itu. Porselen Tiga Warna menyerap kelebihan seni lukisan dan seni rupa patung tradisional Tiongkok. Corak dekorasinya berwarna tiga: merah, hijau, dan putih. Setelah dibakar, ketiga warna itu berbaur dan membentuk banyak warna lainnya. Dalam Porselen Tangsancai terlihat tidak hanya warna aslinya, tapi juga warna yang majemuk dan inilah ciri khas Porselen Tangsancai.
          Pada masa Dinasti Yuan lahir keramik biru putih –ketika itu warna biru dianggap sakral–yang kemudian menjadi keramik Tiongkok legendaris hingga saat ini. Pembuatan keramik Tiongkok warna biru putih itu pesanan raja-raja Persia pada abad ke-14. Namun, ciri khas keramik Dinasti Yuan, warna birunya agak pudar, sedangkan saat masuk periode Ming (1638-1644) dan  Ching (1644-1911) warna biru sudah sangat terang dan cerah, karena sudah menggunakan zat pewarna kimia buatan.
“Keramik Ming dan Ching  itu warnanya cerah-cerah. Warna biru pudar pada masa Yuan, karena pada  zaman itu  teknik pewarnaan masih sangat tradisional. Warna biru didapat dari logam-logam yang dilebur, hasilnya biasa kita sebut cobalt blue
Keramik Antik Ciamik 

Dinasti ming                     Dinasti yuan

Hasil gambar untuk ciri keramik dinasti song
Dinasti yuan                                                Dinasti song

                                 


Bhre Wirabhumi Tokoh Majapahit Yang Gugur Dalam Paregrer Agung 1406M

 Bhre Wirabhumi Tokoh Majapahit Yang Gugur Dalam Paregrer Agung 1406M


SETELAH gagal menikahi putri Sunda, Sri Rajasanegara menikahi Sri Sudewi, putri Bhre Wengker Wijayarajasa dari istri selir. Dari pernikahan itu, menurunkan ratu KabalanKusumawardhani. Rajasanegara juga memiliki wadohaji atau istri selir dan menurunkan seorang putra yang dalam Kakawin Negarakertagama dan Serat Pararaton dikenal sebagai Bhre Wirabhumi. Serat Pararaton juga memberitakan, Bhre Wirabhumi gugur dalam Paregreg Agung 1406M.

Selama ini Nama Asli Bhre Wirabhumi putra kandung maharaja Majapahit Hayam Wuruk dari istri selir belum banyak diketahui. Jika memahami bahwa Wirabhumi adalah nama keraton, tentu rajanya atau Bhre Wirabhumi atau raja yang bertahta di keraton Wirabhumi memiliki nama asli atau nama abhiseka.

Bhre berasal dari kata Sansekerta Bhra dan i atau ing. Bhra dalam bahasa sansekerta artinya sinar, raja. Ing atau i artinya di. Karena ini menyangkut tokoh dan kerajaan, maka istilah Bhra artinya raja atau baginda. Sementara Wirabhumi adalah nama keraton.

Bhre Wirabhumi artinya raja yang bertahta di keraton Wirabhumi. Putra kandung sri Hayam Wuruk dari istri selir ini merupakan Bhre Wirabhumi II yang memiliki nama Aji Rajanatha atau Sri Bhattara Rajanata.

Penyebutan nama Aji Rajanatha sebagai nama asli Bhre Wirabhumi II, putra selir Hayam Wuruk yang menjadi suami Nagarawardhani ditemukan dalam prasasti Biluluk IV. Tahun pasti keluarnya prasasti ini tidak diketahui karena baris 1-4 hilang.

Tapi melihat angka dalam prasasti Biluluk III yang menulis angka tahun 1395M, sangat mungkin prasasti Biluluk IV keluar tidak jauh setelah tahun itu.

Isi prasasti sebagaimana terjemahan Muhammad Yamin adalah sebagai berikut:

Sri paduka bhattara Rajanata, Sri paduka Bhattara Anantadewi, Sri paduka bhattara Anaridewi, Sri paduka bhattara parameswara Pamotan yang bernama raden Kudamerta, Sri paduka bhattara Narapati yang bernama raden Mano, raden Iso, raja Saratanganugrahaeni, berwenang menganu-gerahkan tanah swatantra supaya tidak lagi dikuasai para menteri Katrini, Pangkur, Tawan, Tirip, demikian pula Pinghai dan Wahuta, juga para pemungut pajak bea cukai uang raja sejak dahulu seperti micra paramicra, segala macam bulu wetu seperti panguran, kring padem, manimpaki, paranakan atau keturunan campuran, pande emas, mangrinci atau pengarang kidung, manguryangilala atau pengarang di keraton.

Sri Paduka Bhatara Rajanatha sangat mungkin sebagai  nama asli atau nama abhiseka Bhre Wirabhumi II. Ini dapat ditelisik dari penyebutan Sri Paduka Bhatara Parameswara Pamotan raden Kudamerta. Dalam prasasti ini baginda Wengker, paman dan mertua Hayam Wuruk sudah wafat, karena sudah bergelar anumerta Bhatara Parameswara. Berdasarkan catatan sejarah, yang kemudian menganti sebagai raja di Kedaton Wetan adalah Bhre Wirabhumi. [Girindra:Pararaja Tumapel-Majapahit hal 192-193]



Sumber:

Buku GIRINDRA:Pararaja Tumapel-Majapahit karta Siwi Sang terbitan 30 Desember 2013


Agama Mayoritas di Majapahit

Siwa, Agama Mayoritas di Majapahit

Agama sangat menentukan corak kehidupan masyarakat mau pun sistem pemerintahan yang berlaku; hal ini dapat dilihat pada sekelumit perkembangan Majapahit. Raden Wijaya sebagai pendiri Majapahit menerapkan sistem keagamaan secara dominan yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Sewaktu meninggal, ahli warisnya membuatkan baginya pendharmaan dalam bentuk Candi Sumber Jati di Blitar Selatan sebagai Bhatara Siwa. Wijaya pun didharmakan pada Candi Antapura di daerah Mojokerto sebagai Amoga Sidhi (Buddha). Raja Jayanegara, anak Wijaya, setelah meninggal didharmakan (dicandikan) di Sila Petak sebagai Bhatara Wisnu, sedangkan di Candi Sukalila sebagai Buddha.

  
Gajah Mada, yang menjabat sebagai panglima bhayangkari sewaktu pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi dan sebagai mahapatih semasa pemerintahan Hayam Wuruk, sangat tekun dalam menjalankan ajaran dharma. Raja Gayatri, ibunda Hayam Wuruk, memerintah putranya supaya benar-benar melaksanakan upacara sradha. Upacara sradha pada waktu itu yang paling terkenal adalah mendharmakan atau mencandikan para raja yang telah meninggal dunia (amoring scintya). Upacara ini dilaksanakan dengan dharma yang harinya pun telah dihitung sejak meninggalnya raja bersangkutan, dari mulau tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya sampai seribu hari bahkan tiga ribu hari. Hal ini sampai sekarang di Jawa masih berjalan, disebut dengan nyadran, yang asal katanya dari istilah sradha.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta, kecuali Tribuwana Tunggadewi, ibunda Hayam Wuruk, yang beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu, Siwa dan Buddha merupakan agama resmi Kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa Raden Wijaya ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu dharmadyaksa ring Kasaiwan dan dharmadyaksa ring Kasogatan. Kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya disebut dharmapapati atau dharmadihikarana.
Terdapat pula para agamawan yang berperan penting di lingkungan istana yang disebut tripaksa, yaitu resi-saiwa-sagata (berkelompok 3); dan catur dwija, yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-resi (berkelompok 4). Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta Siddantatapaksa, yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Pu Sindok pada abad ke-10. Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur atau Smrti; yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada zaman Pu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada zaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipengaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta, dan Samkhya. "Kenyataan Tertinggi" agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku kata suci “OM”.
     Siwa, sebagai dewa tertinggi, memunyai tiga hakekat (tattwa) yaitu:
1.    Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala);
2.    Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala);
3.    Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala).
Selain Siwasiddhanta, dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kadiri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa; di India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata). Di samping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja Dewa Wisnu; yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai Dewa Pelindung (Istadewata).
Walau pun Nagarakretagama tidak menyebutkan keberadaan Islam, namun tampaknya ada beberapa anggota keluarga istana yang telah beragama Islam pada waktu itu.
Bangunan Suci pada Masa Majapahit
Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (patirtan, petirtaan), dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan suci ini kebanyakan dipergunakan oleh penganut Siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha. Candi yang bercorak Siwa antara lain: Candi Jago (Jajaghu), Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual seperti NagarakretagamaArjunawijayaSutasoma, dan sedikit berita prasasti.
Status dan fungsi bangunan suci pun berbeda-beda. Berdasarkan status bangunan-bangunan suci, kita dapat kelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan yang dikelola oleh masyarakat di luar kekuasaan pemerintah pusat. Bangunan suci yang dikelola pemerintah pusat ada dua macam, yaitu:
1.    Dharma dalm, atau dharma haji, yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja beserta keluarganya. Jumlah dharma haji ada 27 buah, di antaranya: Kegenengan, Kidal, Jajaghu, Pikatan, Waleri, Sukalila, dan Kumitir.
2.    Dharma-lpas, yaitu bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (bhudana) pemberian raja untuk para resi Saiwa dan Sogata (Buddha), untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencarian mereka.
Sedangkan bangunan suci yang berada di luar pengelolaan pemerintah pusat kebanyakan adalah milik prasasti resi, antara lain mandala, katyagan, dan janggan. Secara umum bangunan suci nonpemerintah ini disebut patapan atau wanasrama karena letaknya terpencil. Mandala yang dikenal sebagai kadewaguruan adalah tempat pendidikan agama yang dipimpin oleh seorang siddharsi yang disebut pula dewaguru.
     Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
Candi yang memunyai dua fungsi, yaitu sebagai pendarmaan raja dan keluarganya, juga sebagai kuil pemujaan dewa dengan ciri adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah arca pendarmaan (dewawimbha), misalnya Candi Jago, Pari, Rimbi, dan Simping (Sumberjati).

Candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, dengan ciri tidak memunyai garbhagrha dan arca pendarmaan/perwujudan; tubuh candi diganti dengan altar atau miniatur candi. Candi semacam ini kebanyakan dipakai oleh para resi dan terletak di lereng-lereng gunung, misalnya di lereng Gunung Penanggungan, Lawu, atau Wilis.
Sinkretisasi Siwa-Buddha
Perlakuan raja-raja Jawa yang sama terhadap dua agama yang ada, yakni Hindu-Siwa dan Buddha, cukup toleran. Ini jelas merupakan pengejawantahan kerukunan beragama dan antaragama yang dianut masyarakat Majapahit berjalan sangat baik. Hal ini memperlihatkan nilai-nilai luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada saat sekarang. Nilai-nilai luhur ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun tetap merupakan nilai-nilai positif bagi ahli-ahli warisnya.
Sinkretisasi (perpaduan) agama Siwa dengan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Raja Kretanagara, raja terakhir Singasari. Hal ini memperlihatkan tradisi masyarakat Jawa yang selalu tertarik akan perpaduan, di samping memperlihatkan sifat toleransinya yang begitu tinggi, dan mungin juga karena alasan politis, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi kekuatan Kublai Khan. Sebagai langkah mempertemukan kedua agama ini, Kertanagara membuat candi Siwa-Buddha, yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat Kota Malang.
Percampuran Siwa-Buddha pada zaman Majapahit antara lain terlihat pada cara pendarmaan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa (Raden Wijaya) yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha. Bisa pula dilihat pada raja kedua Majapahit, yaitu Jayanagara, yang didharmakan di Sila Petak sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana “Kenyataan Tertinggi” dalam agama Siwa mau pun Buddha tidak berbeda.

Kepustakaan
Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LKiS.
Muljana, Slamet. 2006. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Yogyakarta: LKiS.
Poesponogoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.

PENEMUAN SALURAN AIR KUNO DI DESA BULUSARI - GEMPOL PASURUAN

  Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan peninjauan terkait ditemukannya situs saluran air kuno yang bermaterialka...